JAM  KERJA  SEKRETARIAT  GEREJA :       Selasa ~ Sabtu : 08.00 - 19.00,  Istirahat : 12.00 - 13.00            Minggu   : Pagi 07.00 - 10.00 , Sore 17.00 - 19.00.             LIBUR setiap Hari Senin dan Hari Libur Nasional           Telp : 6711509

Selasa, 18 Juni 2013

DARI MUNTILAN MERAJUT INDONESIA

DARI MUNTILAN MERAJUT INDONESIA
Syukur atas 150 tahun Rama van Lith, SJ


“Yang sekarang ini mencintai benih, memiliki masa depan”



oleh: Mgr. Johannes Pujasumarta


Perayaan syukur 150 tahun Rama van Lith, SJ menjadi jembatan yang menghubungkan kita yang hidup sekarang di sini dengan Rama van Lith yang lahir 150 tahun yang lalu, 17 Mei 1863 jauh di seberang sana, di negeri Belanda. Rama van Lith menjadi pribadi yang kita rasa dekat, karena hati, jiwa dan raganya pernah hadir di tengah-tengah kita. Ia ada pada pihak kita, ketika harus memilih antara Belanda dan Indonesia, karena hatinya penuh cinta. Cinta kepada anak-anak pribumi yang tinggal bersama di asrama Muntilan merupakan daya kekuatan untuk merajut Indonesia. Yang Rama van Lith impikan, pikirkan, lakukan dan perjuangkan menjangkau masa yang melewati batas usianya. Pada usia 62 tahun delapan bulan, 9 Januari 1926 Rama van Lith dipanggil Tuhan, untuk menjadi pendoa, agar Indonesia terwujud, agar Gereja Katolik Indonesia menjadi nyata.

Rama van Lith, seperti seorang tukang taman, telah menabur beragam benih: kebenaran, keindahan, dan kebaikan dalam pribadi anak-anak pribumi, agar anak-anak itu memiliki akal budi yang cerdas, hati penuh kasih dan jiwa merdeka serta tangan-tangan yang trampil bekerja. Benih iman pun ditaburkan dengan kesabaran dan keterbukaan pada campur tangan Allah. Peristiwa pembaptisan Barnabas Sarikrama beserta teman-temannya pada Hari Raya Pentekosta, 20 Mei 1904, dan kemudian disusul dengan pembaptisan di Sendangsono pada 14 Desember 1904, merupakan tanda pengharapan bahwa cara yang digunakan oleh Rama van Lith memiliki masa depan.

Impian besar tukang taman itu diperjuangkan dengan rendah hati dan sederhana melalui pendidikan nilai, agar anak-anak yang dididiknya menjadi pemimpin dan guru yang handal. Sikap kritis anak didiknya tidak membuatnya gusar, ketika ada wakil dari murid-muridnya meminta, agar Rama Mertens diberi kesempatan kotbah lebih banyak, karena kotbah Rama Mertens lebih mudah ditangkap oleh anak-anak pribumi. Bagi anak-anak pribumi kotbah Rama van Lith sulit ditangkap. Mendengar kritikan itu Rama van Lith tidak marah, tetapi malah berkata kepada mereka, “Ya kami orang Belanda, tidak dapat begitu berkotbah cara Jawa, harap saja kelak telah ada pastor Jawa!” Jawaban itu mencerahkan pikiran anak-anak itu, bahwa orang Jawa bisa menjadi pastor.

Pendidikan van Lith di Muntilan menjadi lengkap dengan pendidikan di Mendut untuk gadis-gadis pribumi yang diasuh oleh para Suster Fransiskan van Heythysen, OSF. Asrama putri itu di pinggir kali Elo, dekat pada candi Mendut. Dengan giat Rama van Lith mengundang anak-anak dari berbagai kalangan, dari berbagi suku dan ras, anak desa maupun anak bangsawan, untuk masuk ke asrama Muntilan maupun Mendut. Teladan hidup para guru memikat anak-anak untuk menjadi Katolik.

Konon, kalau anak-anak Muntilan mau kencan dengan anak-anak Mendut, ada-ada saja alasannya. Mereka pamit untuk melihat arca. Padahal sebenarnya mereka sudah mengadakan kencan di sekitar candi Mendut. Tidak apa-apa. Memang maksudnya begitu, Mendut memang dekat Muntilan. Kalau kemudian ada pasangan antara putra Muntilan dan putri Mendut untuk membangun hidup berkeluarga, suara bisik-bisik di antara mereka meluap menjadi kabar gembira, “Kutilang Perkutut”, “cah Muntilan oleh cah Mendut”. Gelak ketawa bahagia rekan-rekan menyertai pasangan Kutilang Perkutut itu memadu kasih. Rama van Lith penuh haru dan bangga memandang pasangan-pasangan itu terbang meninggalkan Muntilan Mendut merajut Indonesia.

Rama van Lith tukang taman yang hebat. Ia telah mencintai benih, maka ia memiliki masa depan. Barangsiapa mencintai benih, memiliki masa depan. Bila Indonesia sekarang ini mencintai anak-anak, Indonesia memiliki masa depan. Demikian juga bila Gereja sekarang ini mencintai anak-anak, Gereja memiliki masa depan. Rama van Lith masih dapat menyaksikan buah-buah pekerjaannya sampai tahun 1926, 9 Januari, sebelum didirikan Vikariat Apostolik Semarang dengan Albertus Soegijapranata, muridnya diangkat menjadi Vikaris Apostolik Semarang. Ia telah menghembuskan nafas terakhir sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Ia telah menutup mata, sebelum menyaksikan peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia. Masa depan Rama van Lith adalah Indonesia, dan Gereja Katolik Indonesia sekarang ini. Muncul pertanyaan dalam hati saya, “Apakah Rama van Lith masih haru dan bangga menyaksikan kita yang hidup sekarang ini? Apa mimpi kita untuk Indonesia dan Gereja Katolik masa depan?”

Tahun Iman, yang dicanangkan oleh Gereja Katolik, telah kita mulai sejak 11 Oktober 2012, sebagai tahun syukur atas pembukaan Konsili Vatikan II. Kita diajak untuk berproses bersama membangun masa depan Indonesia dan Gereja Katolik Indonesia. Sebutlah tahun 2033, dua puluh tahun yang akan datang! Pada waktu itu karya penebusan Tuhan akan kita peringati telah berlangsung selama 2000 tahun. Indonesia macam apakah yang masih ada dua puluh tahun yang akan datang? Apakah masih akan ada Indonesia? Gereja Katolik macam apakah yang masih akan ada dua puluh tahun yang akan datang? Sangat mungkin, kita tidak akan menyaksikan peristiwa-peristiwa dua puoluh tahun yang akan datang. Tetapi itu tidak berarti kita boleh berlepas tangan, dan mengatakan, “Masa depan
bukan urusan saya!”

Rama van Lith telah menjadi teladan bagi kita, agar kita pun membangun masa depan dengan menabur beragam benih sekarang ini melalui pendidikan nilai dalam pribadi anak-anak kita. Yang sekarang ini mencintai benih, memiliki masa depan. Semoga kesediaan kita untuk mau “berurusan” sekarang ini dalam berbagai bidang kehidupan, membuat tetap ada masa depan Indonesia, dan masa depan Gereja Katolik Indonesia. Dari Muntilan Rama van Lith telah merajut Indonesia. Mari
kita teruskan!

Rama van Lith, ingkang binapa bapa dening para putra, kula aturaken genging atur panuwun anggenipun sampun paring tulada nggulawenthah para putra. Tetep nyuwun tambahing berkah lan pangestu. Berkah Dalem,

Semarang, 13 Mei 2013

+ Johannes Pujasumarta



diambil dari 'Duc in Altum'

Tidak ada komentar: