JAM  KERJA  SEKRETARIAT  GEREJA :       Selasa ~ Sabtu : 08.00 - 19.00,  Istirahat : 12.00 - 13.00            Minggu   : Pagi 07.00 - 10.00 , Sore 17.00 - 19.00.             LIBUR setiap Hari Senin dan Hari Libur Nasional           Telp : 6711509

Jumat, 31 Oktober 2008

Tinggalkan Telepon Genggam di Rumah

oleh: P. William P. Saunders *


Baru-baru ini saya ikut ambil bagian dalam Misa; tiba-tiba terdengar dering telepon genggam yang segera dimatikan. Hal ini terjadi dan terjadi lagi. Dering tersebut mengganggu orang banyak dan membuyarkan konsentrasi saya. Adakah peraturan mengenai penggunaan telepon genggam di gereja? ~ seorang pembaca


Telepon genggam merupakan trend baru. Semakin banyak saja orang yang memiliki telepon genggam dan terlihat mempergunakannya sementara mereka mengendarai mobil, berjalan kaki, menyusuri lorong-lorong supermarket, atau sekedar berdiri di suatu tempat. Lebih payah lagi, seorang imam teman saya di keuskupan lain, yang adalah imam paroki sebuah gereja yang berbentuk bundar, melihat para remaja di satu sisi gereja menelepon teman-teman mereka yang duduk di seberang, di sisi gereja yang lain. Kita mendengar telepon genggam berdering di pertokoan, di restoran, dan yang menyedihkan dalam perayaan Misa - betapa menjengkelkan. Bagi sebagian orang, telepon genggam yang diselipkan di ikat pinggang atau dalam dompet, atau bahkan dikalungkan di leher, memberikan gengsi tersendiri, teristimewa di kalangan para remaja; namun saya selalu bertanya-tanya, “Siapakah yang membayar pulsa mereka?” Walau telepon genggam sungguh memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam banyak hal, terutama dalam keadaan darurat, orang tidak boleh diperbudak oleh telepon genggam. Mengapakah orang harus selalu terus-menerus dapat dikontak? Seperti segala hal lainnya, ada masa dan saat yang tepat bagi segala sesuatu; dering telepon genggam yang mengganggu, sama sekali tidak dapat dibenarkan membuyarkan kekhidmadan perayaan Misa.

Memang tidak ada peraturan khusus mengenai telepon genggam, namun demikian rasa hormat terhadap Misa akan membantu kita memahami bagaimana menanggapi pertanyaan di atas. Konsili Vatikan Kedua, dalam “Konstitusi tentang Liturgi Kudus” mengajarkan, “Sebab melalui Liturgilah dalam Korban Ilahi Ekaristi, `terlaksanalah karya penebusan kita'. Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan penghayatan mengungkapkan Misteri Kristus serta hakekat asli Gereja yang sejati” (No. 2).

Jangan pernah lupa bahwa kita berkumpul bersama sebagai Gereja untuk merayakan Misa agar dapat bersama dengan Tuhan kita, dan bahwa Ia sungguh hadir di antara kita (bdk “Konstitusi tentang Liturgi Kudus” No. 7). Kristus hadir dalam Sabda Kitab Suci, “sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja.” Setiap orang wajib mendengarkan Sabda dengan seksama dan mencamkannya dalam hati.

Kristus hadir pula dalam imamat kudus yang Ia percayakan kepada para rasul-Nya, yang senantiasa diteruskan hingga hari ini melalui Sakramen Imamat kepada para imam-Nya. Seorang imam bertindak atas nama pribadi Kristus, jadi apabila imam melayani sakramen, Kristus Sendiri yang sesungguhnya melayani sakramen.

Kristus hadir dalam Ekaristi Kudus. Kurban berdarah Kalvari dihadirkan dalam kurban tak berdarah Misa Kudus. Roti dan anggur yang dipersembahkan sungguh diubah, di“transsubstansiasi” menjadi Tubuh dan Darah-Nya, Jiwa dan Ke-Allahan-Nya. Kristus hadir secara istimewa bagi kita dalam Ekaristi Kudus; Ia mengundang setiap orang yang menerima Komuni Kudus untuk masuk ke dalam persatuan kudus dengan-Nya.

Kristus hadir dalam diri setiap orang beriman. Namun demikian, kehadiran-Nya ini paling sulit disadari. Kita harus memiliki kehendak untuk memilih Kristus di atas segalanya, dan mengasihi Kristus di atas segalanya. Setiap orang wajib berjuang untuk ikut ambil bagian sepenuhnya dalam perayaan Misa; menjadikan Misa sebagai suatu sembah sujud sejati kepada Allah. Dengan segala beban dan tanggung jawab yang harus dihadapinya tiap-tiap hari, umat beriman wajib memberikan satu jam saja selama seminggu dan mempersembahkan sepenuhnya bagi Allah, demi keselamatan jiwanya sendiri. Benar bahwa setiap orang harus bergulat melawan distraksi-distraksi yang mengganggu konsentrasinya dalam Misa, namun demikian setiap orang wajib melakukan yang terbaik guna melenyapkan sebanyak mungkin distraksi yang mungkin, dan memusatkan perhatian pada Misa Kudus.

Sebab itu, matikanlah telepon genggam. Dalam abad di mana komunikasi dapat dilakukan tanpa kabel, setiap umat beriman hendaknya mempergunakan bentuknya yang pertama, yaitu doa yang khusuk. Bukannya diinterupsi oleh dering telepon genggam, malahan setiap orang perlu menginterupsi hidupnya sehari-hari bagi Tuhan. Kita menjawab panggilan telepon seseorang yang mungkin sifatnya penting, tetapi menjawab panggilan Tuhan dalam Misa Kudus, baik sebagai anggota komunitas Gereja maupun sebagai pribadi, jauh terlebih penting. Jaringan telepon genggam kita dapat menjangkau hubungan internasional, tetapi jaringan ibadah sembah sujud kita dalam Misa Kudus bahkan menjangkau hubungan persekutuan dengan para kudus - yaitu persekutuan kita dengan semua santa dan santo serta para malaikat di surga, jiwa-jiwa di api penyucian dan segenap umat beriman di dunia ini - dan tanpa dibebani biaya roaming! Sebab itu, matikanlah telepon genggam dan biarkan baterainya diisi; dengan demikian baterai jiwa kita juga akan diisi. Marilah kita menjalin komunikasi sejati dengan Tuhan dalam Misa, daripada berkomunikasi dengan sesama, sebab tersedia banyak waktu untuk itu di luar Misa.

Dering telepon genggam yang berbunyi pada waktu Misa, mengganggu orang banyak yang berusaha mengarahkan diri dan memusatkan perhatian pada Tuhan. Dalam beberapa kesempatan, dering telepon yang berbunyi pada saat homili dan saat Doa Syukur Agung sungguh membuyarkan konsentrasi saya. Sebab itu, demi rasa hormat kepada Tuhan dan sesama, telepon genggam wajib dimatikan pada waktu Misa, dan bahkan jauh lebih baik jika ditinggalkan di rumah. Bagi sebagian orang, para dokter misalnya, yang mungkin sedang “dinas jaga”, nada getar sama efektifnya dengan nada dering. Marilah kita mempersembahkan kepada Tuhan perhatian yang penuh tak terbagi; tak ada seorang pun atau suatupun yang pantas mengganggu saat-saat kita yang berharga bersama Tuhan.


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Leave Cell Phones at Home” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Ajaran Gereja tentang Ekaristi

Gereja Katolik yang kudus mengajarkan bahwa pada saat Konsekrasi dalam Misa, roti dan anggur di altar sungguh-sungguh menjadi Tubuh, Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an Yesus Kristus. Roti dan anggur sudah tidak ada lagi, meskipun wujudnya dan sifatnya tetap roti dan anggur. Perubahan yang amat penting ini oleh Gereja Katolik dinamakan perubahan hakiki atau transsubstansiasi - perubahan seluruh substansi roti ke dalam substansi Tubuh Kristus, dan seluruh substansi anggur ke dalam substansi Darah-Nya.

ADORASI SAKRAMEN MAHA KUDUS
Kepada Hosti yang telah dikonsekrir dan Darah Kristus dalam rupa anggur, kita bersembah sujud seperti kepada Tuhan sendiri, karena Roti dan Anggur yang telah dikonsekrir tersebut sungguh-sungguh adalah Tuhan Yang Mahakuasa sendiri. Bentuk penyembahan tertinggi ini disebut latria. Pendapat yang menyatakan bahwa Kristus hanyalah unsur Ekaristi, sama seperti lambang, atau bahwa Kristus hanya diterima secara rohani, sungguh bertentangan dengan Konsili Trente.

KEHADIRAN-NYA NYATA
Baik roti maupun anggur yang telah dikonsekrir, keduanya mencakup seluruh Yesus Kristus - Tubuh-Nya, Darah-Nya, Jiwa-Nya dan Ke-Allah-an-Nya. Jadi, mereka yang menyambut komuni, baik dalam rupa roti maupun dalam rupa anggur, menyambut seluruh Kristus. Lagipula, serpihan terkecil dari sebuah Hosti yang telah dikonsekrir ataupun tetesan terkecil dari anggur yang telah dikonsekrir adalah seluruh Kristus. Jadi, Kristus tidak terbagi, Ia tetap satu.
Kristus hadir selama wujud roti dan anggur masih ada. Jika sebuah Hosti yang telah dikonsekrir dilarutkan dalam air, sehingga tidak berupa roti lagi, ia bukan lagi Yesus. Dengan demikian, Kristus hadir dalam diri orang yang menyambut komuni selama kurang lebih 15 menit, dan ia selayaknya menyembah Dia yang ada dalam dirinya selama Ia hadir secara sakramental.
Memang benar bahwa Tuhan ada di mana-mana, sebagai Pencipta serta Penyelenggara segala sesuatu, dan bahwa Ia hadir melalui rahmat pengudusan dalam semua jiwa yang berada dalam keadaan rahmat, namun kehadiran-Nya tersebut adalah kehadiran rohani. Kehadiran Kristus dalam Ekaristi - Tubuh, Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an-Nya - adalah sepenuhnya unik, dan kehadiran-Nya dalam Ekaristi itu saja yang merupakan Kehadiran Allah.

PEDOMAN UNTUK MENYAMBUT KOMUNI
Agar dapat menyambut Komuni Kudus secara layak, seseorang haruslah berada dalam keadaan rahmat, yaitu bebas dari perbuatan dosa berat yang belum diakukan serta diampuni melalui Sakramen Tobat. Menerima Komuni Kudus dalam keadaan belum bersih dari dosa berat itu sendiri adalah suatu dosa berat yaitu dosa sakrilegi (dosa melanggar hal-hal suci). Seseorang yang telah melakukan dosa berat haruslah terlebih dahulu membersihkan jiwanya dalam Sakramen Tobat sebelum menerima Komuni Kudus. St. Paulus mengatakan bahwa barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap Tubuh dan Darah Tuhan (1Kor 11:27). (Dosa sakrilegi karena menerima Komuni secara tidak pantas, tentu saja dapat diampuni dalam Sakramen Tobat).
Orang yang menyambut komuni juga, selain dalam keadaan rahmat, haruslah memiliki kehendak baik dan melakukan puasa yang diwajibkan. Wajib puasa yang berlaku sekarang ialah berpuasa dari segala makanan dan minuman (kecuali air putih dan obat) satu jam sebelum saat menyambut komuni. Berpuasa lebih lama - misalnya, tiga jam atau sejak tengah malam - adalah persiapan yang sangat baik.
Seorang Katolik yang taat juga akan berjuang untuk memurnikan jiwanya dari dosa-dosa ringan agar dapat menyediakan tempat tinggal yang layak bagi Kristus di hatinya. Persiapan serta-merta yang terbaik untuk menyambut Komuni Kudus adalah dengan ikut ambil bagian dalam Misa dengan khusuk serta sepenuh hati.
KEWAJIBAN PASKAH
Semua orang Katolik wajib menyambut Komuni Kudus sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun, sedapat mungkin dalam Masa Paskah.

MENGAPA KITA DIANJURKAN UNTUK MENYAMBUT KOMUNI SESERING MUNGKIN?
Pengaruh sakramental yang istimewa dari Ekaristi adalah: persatuan yang erat antara orang yang menyambut Komuni Kudus dengan Yesus Kristus (dan juga dengan anggota-anggota Tubuh Mistik-Nya yang lain); sebagai makanan rohani bagi kehidupan rahmat (pengaruh yang dapat diperbandingkan dengan makanan jasmani yang memberi makan tubuh jasmani kita); dan sebagai jaminan kemuliaan surgawi serta kebangkitan badan.
Dengan menyambut Komuni Kudus, seorang Katolik mentaati perintah Kristus untuk menyantap Tubuh-Nya dan meminum Darah-Nya. Ia melaksanakan tindakan yang paling menyenangkan bagi Tuhan yang amat rindu untuk tinggal dalam hatinya. Dan sebaliknya, kerinduannya untuk menyambut Dia akan bertambah. Setiap penerimaan Komuni Kudus mengakibatkan bertambahnya rahmat pengudusan dalam jiwa; hal tersebut terjadi sejauh orang yang menyambut komuni tersebut membuka dirinya kepada Kristus dengan mengosongkan jiwanya yang berdosa serta meninggalkan keinginan-keinginan duniawinya, sesuai dengan sikap persiapan serta-mertanya, penerimaan Komuni dan ucapan syukurnya.
Rahmat pengudusan adalah kehidupan Kristus dalam jiwa, suatu kenyataan rohani yang sulit dijelaskan. Rahmat pengudusan membuat jiwa menjadi kudus serta menyenangkan bagi Tuhan. Rahmat pengudusan memberi jiwa kecantikan adikodrati yang jauh melampaui kecantikan jasmani yang luar biasa sekalipun. Seseorang haruslah berada dalam keadaan rahmat pada saat ajalnya agar dapat diselamatkan. Setiap kunjungan Yesus Kristus dalam Ekaristi merupakan janji kehidupan kekal bagi mereka yang tinggal dalam rahmat-Nya dengan mentaati perintah-perintah-Nya.
Melalui Komuni Kudus, Kristus melimpahi kita dengan rahmat agar kita dapat mentaati perintah-perintah-Nya. Menyambut Komuni sesering mungkin telah lama dianjurkan oleh Gereja sebagai sarana untuk mengatasi dosa, termasuk dosa-dosa yang biasa kita lakukan dan teristimewa dosa-dosa karena melanggar kesucian. Persatuan yang erat dengan Yesus Kristus yang timbul karena sering menerima Komuni Kudus dengan penuh cinta merupakan buah komuni yang utama, buah-buah komuni yang lain ialah: memperlemah hawa nafsu dan godaan-godaan duniawi dalam jiwa, serta membangkitkan penghargaan akan hal-hal yang dari Tuhan, dengan demikian menata jiwa agar memperoleh banyak keuntungan rohani dari Komuni Kudus. St. Yohanes Bosco, “Sahabat Kaum Muda” yang membawa kembali anak-anak berandal ke jalan yang benar, seringkali berbicara tentang tiga “musim semi” dalam kehidupan rohani: Pengakuan Dosa, Komuni Kudus, dan devosi kepada Santa Perawan Maria.

EKARISTI DALAM KITAB SUCI
Sejak awal mula Gereja telah memuliakan “roti” dan “anggur” Ekaristi sebagai benar-benar Tubuh dan Darah Yesus Kristus, karena demikianlah yang diajarkan oleh Kristus Sendiri. Tuhan Yesus tahu betapa iman yang mendalam diperlukan untuk menerima ajaran ini, jadi pertama-tama Ia mempersiapkan para murid-Nya dengan mukjizat penggandaan roti dan ikan (Mat 14:15-21). Kemudian Ia menubuatkan bahwa Ia akan memberikan daging-Nya sendiri serta darah-Nya “sebagai makanan dan minuman”. Itulah saat yang menentukan bagi banyak pengikut-Nya: “Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: `Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?' … Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia” (Yoh 6:60,66). Mereka bukannya salah paham dengan-Nya; melainkan mereka benar-benar tidak mau menerima apa yang dikatakan Yesus. Meskipun begitu, Kristus tidak menawarkan penjelasan untuk memperlunak perkataan-Nya atau pun memberikan arti simbolik kepada mereka. Malahan, “Kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: "Apakah kamu tidak mau pergi juga?" (Yoh 6:67).
Penetapan Ekaristi Kudus terjadi pada saat Perjamuan Malam Terakhir yang digambarkan oleh St. Matius sebagai berikut: “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: `Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.' Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: `Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.'” (Mat 26:26-28). Peristiwa penting ini juga dicatat oleh St. Markus (Mrk 14:22-24), St. Lukas (Luk 22:17-20) dan St. Paulus (1Kor 11:23-26). Kata-kata Kristus ini sejak dahulu hingga sekarang senantiasa diterima dalam arti yang sebenarnya dan sesungguhnya oleh segenap umat Katolik.

GEREJA PERDANA DAN EKARISTI
St. Ignatius dari Antiokia (wafat th 170) mencatat mengenai mereka yang menentang ajaran Ekaristi pada masa itu sebagai berikut: “Mereka menjauhkan diri dari Ekaristi dan doa, karena mereka tidak mengakui bahwa Ekaristi adalah tubuh Juruselamat kita, Yesus Kristus.” St. Efrem (wafat th 373) mengatakan: “Tetapi jika seseorang menghinanya atau menolaknya atau melecehkannya, dapat dipastikan bahwa ia menghina Sang Putera, yang menyebutnya dan sesungguhnya menjadikannya Tubuh-Nya.” Dan St. Yustinus (wafat th 165) menegaskan: “Kita menyebut roti ini `Ekaristi' di mana tidak akan ambil bagian di dalamnya seorang pun yang tidak mengimani kebenaran ajaran kita, yang belum dibersihkan dari dosa dengan dilahirkan kembali dan diampuni dosa-dosanya, serta yang hidupnya tidak sesuai dengan ajaran Yesus Kristus, karena kita tidak menyantapnya sebagai makanan dan minuman biasa, melainkan karena Sabda Allah: Yesus Kristus mengambil rupa tubuh dan darah demi keselamatan kita. Kita tahu juga bahwa makanan ini yang secara alami akan menjadi tubuh dan darah kita, dengan dikonsekrasikan oleh doa yang menggunakan kata-kata Ilahi-Nya Sendiri, menjadi tubuh dan darah yang sama yang menjadikan Yesus manusia.”

PARA KUDUS DAN AJARAN-AJARAN MEREKA TENTANG EKARISTI
Para kudus dari abad-abad sesudahnya, juga secara terus-menerus dan tegas mengungkapkan iman mereka tentang kehadiran Yesus secara nyata dalam rupa Hosti sederhana yang telah dikonsekrir. St. Fransiskus dari Asisi (1181-1226), dalam salah satu dari sedikit suratnya yang masih tersimpan, menulis bahwa “segenap keberadaan manusia hendaklah sujud menyembah. Biarlah seluruh dunia berguncang dan biarlah Surga bersukacita ketika Kristus, Putera Allah Yang Hidup hadir di sana, di atas altar, dalam tangan imam.” St. Fransiskus percaya bahwa tidak ada martabat yang lebih tinggi dari martabat seorang imam “oleh karena hak istimewanya yang agung dan luhur untuk mengkonsekrasikan Tubuh dan Darah Kristus.” St. Antonius dari Padua (1195-1231) menegaskan: “Kita harus teguh mengimani dan dengan terus terang menyatakan bahwa tubuh yang sama yang dilahirkan oleh Sang Perawan; yang digantung di kayu salib; yang dibaringkan dalam makam; yang bangkit pada hari ketiga dan naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa; diberikan sebagai santapan kepada para Rasul, dan sekarang Gereja sungguh mengkonsekrasikannya serta membagikannya kepada umat beriman.”
St. Thomas Aquinas (1225-1274) adalah seorang filsuf dan teolog besar dari abad ke-13 yang digelari “Doktor Ekaristi”, bukan saja karena tulisan-tulisan teologinya yang penuh semangat tentang Ekaristi dalam Summa Theologica, tetapi juga karena madah pujian Ekaristinya, dan tata Perayaan Misanya untuk Pesta Tubuh dan Darah Kristus. St. Thomas dianggap oleh banyak orang sejajar dengan Plato dan Aristoteles, yaitu salah seorang dari filsuf terbesar sepanjang masa. Di pembaringannya, saat menjelang ajal, St. Thomas mengatakan: “Andai saja di dunia ini ada pengetahuan tentang Misteri ini yang lebih hebat daripada iman, sekarang ini aku hendak menegaskan bahwa aku mengimani Kehadiran Nyata Yesus Kristus dalam Sakramen Ekaristi, sungguh Allah dan sungguh manusia, Putera Allah, Putera Perawan Maria. Inilah yang aku imani dan aku pegang teguh sebagai kebenaran sejati.”
Warga Amerika pertama yang dinyatakan kudus, St. Elizabeth Ann Seton (1774-1821), ketika masih menjadi jemaat gereja Episcopal, menghadiri Misa saat kunjungannya ke Italia. Ketika pada saat konsekrasi teman Katoliknya berbisik, “Inilah Tubuh Kristus,” Elizabeth sangat tersentuh hatinya. Kemudian, ia menulis kepada saudari iparnya: “Alangkah bahagianya kita, jika saja kita mengimani apa yang diimani jiwa-jiwa terkasih ini, yaitu bahwa mereka mempunyai Tuhan yang hadir dalam Sakramen dan bahwa Ia senantiasa tinggal dalam gereja-gereja mereka dan dihantarkan kepada mereka ketika mereka sakit! Oh, sungguh luar biasa! Ketika mereka membawa Sakramen Mahakudus melewati jendela rumahku, saat aku merasa sedih dan ditinggalkan karena masalahku, aku tidak dapat berhenti meneteskan air mata sementara aku berpikir “Ya Allahku, alangkah bahagianya aku, bahkan ketika aku jauh dari mereka semua yang aku kasihi, jika saja aku dapat menemui-Mu di gereja seperti mereka….. Di lain hari, saat kesedihan yang luar biasa sedang mencekam, tanpa kusadari aku jatuh berlutut ketika Sakramen Mahakudus lewat, dan aku berseru dalam kesesakanku kepada Tuhan untuk memberkati aku jika Ia hadir di sana, hingga seluruh jiwaku hanya mendambakan Dia saja.” Setelah mengalami perkembangan iman dan pada akhirnya menjadi Katolik, tampaknya St. Elizabeth hampir-hampir tidak dapat menahan dirinya ketika ia berseru, “Tuhan ada di mana-mana, di udara yang aku hirup -- ya, di mana saja, tetapi dalam Sakramen-Nya di altar, Ia sungguh hadir secara nyata seperti jiwa dalam tubuhku, yaitu dalam Kurban-Nya yang dipersembahkan setiap hari, kurban yang sungguh sama seperti yang dikurbankan di kayu salib.”

EKARISTI DALAM KEHIDUPAN KITA SEKARANG
Sakramen Mahakudus ini diberikan kepada kita oleh Tuhan kita yang penuh belas kasih sebagai tanda kehadiran-Nya yang terus-menerus di antara anak-anak-Nya. Sakramen Mahakudus disembah sepenuh hati oleh para kudus dan para anggota Gereja yang saleh selama berabad-abad, namun demikian Sakramen yang sama diragukan oleh banyak orang, disepelekan serta diabaikan oleh yang lainnya, diterima secara tidak layak oleh sebagian, dan bahkan dilecehkan oleh yang lain. Oleh karena alasan-alasan tersebut, dan alasan-alasan lainnya yang hanya diketahui oleh Allah saja, Tuhan merasa perlu untuk kadang kala menegaskan kehadiran-Nya dengan mukjizat-mukjizat Ekaristi yang luar biasa. Mukjizat-mukjizat tersebut meneguhkan iman kita serta mengingatkan kita betapa kita mendapat hak istimewa untuk mewartakan salah satu dari kebenaran-kebenaran utama dan misteri teragung dalam agama Katolik: “Dan Sabda telah menjadi daging dan tinggal di antara kita” - tidak hanya di Betlehem, melainkan di setiap tabernakel Katolik dan di setiap hati umat Katolik yang taat.

EMPATPULUH JAM DEVOSI
“EMPATPULUH JAM” adalah devosi yang bertujuan untuk meningkatkan penghormatan, kasih dan pengenalan kita akan Sakramen Mahakudus. Devosi itu sendiri meliputi suatu jangka waktu selama kurang lebih empatpuluh jam.

MENGAPA EMPATPULUH JAM?
Pada umumnya, diyakini bahwa devosi ini dirangkai dengan upacara-upacara Pekan Suci untuk mengenangkan empatpuluh jam lamanya Tuhan kita berada dalam makam. Yang terpenting adalah bahwa sepanjang devosi kita didorong untuk merenungkan hubungan pribadi kita dengan Kristus dalam Ekaristi Kudus, untuk mengevaluasi kembali pentingnya Ekaristi Kudus dalam kehidupan kita sehari-hari.

BILAMANAKAH EMPATPULUH JAM DEVOSI DIMULAI?
Di sebagian wilayah Eropa, “EMPATPULUH JAM” devosi mulai diadakan pada abad ke-12 demi memohon damai kepada Tuhan, demi silih terhadap Sakramen Mahakudus, dan sebagai sarana penitensi umum. Sekitar tahun 1590, Paus Klemens VIII mendorong “EMPATPULUH JAM” devosi di Roma. St Yohanes Neumann, Uskup Philadelphia, adalah alat yang dipakai Tuhan untuk memperkenalkan devosi ini di Amerika Serikat sekitar pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1866, “EMPATPULUH JAM” devosi dirayakan hampir di semua keuskupan di seluruh negeri.

SEPANJANG ADORASI EKARISTI
Bicarakanlah segala hal dengan Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Kasih-Nya kepadamu melampaui kemampuanmu untuk memahaminya. Ia tahu betapa sulitnya bagimu untuk mengasihi Sakramen Mahakudus sebanyak yang engkau inginkan; Ia tahu bagaimana pikiranmu kacau dengan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Ia tahu juga bagaimana kehidupan rohanimu berjalan tertatih-tatih. Ia mengerti! Yang diminta-Nya hanyalah engkau berusaha, berusaha untuk bertumbuh menjadi seorang Kristiani yang lebih baik, berusaha untuk menyempurnakan hubunganmu dengan-Nya. Memang sulit, tapi tak ada usaha lain yang lebih berdaya guna daripada ini. Kata kuncinya adalah “berusaha”. Sepanjang Adorasi berusahalah terlebih lagi dari sebelumnya untuk lebih dekat pada Kristus. Berbicaralah dengan-Nya dalam Sakramen Mahakudus. Ia tahu tujuanmu … harapanmu … kelemahan-kelemahanmu. Bicarakanlah semuanya dengan-Nya. Maka, kalian akan tahu apa yang kami maksudkan ketika kami mengatakan bahwa Adorasi adalah sungguh `SUATU WAKTU KESEMPATAN ROHANI”.
sumber : "The Catholic Church's Teaching on The Eucharist" by Father Peffley; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley tambahan : Katekismus Gereja Katolik Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Francis J. Peffley.”

Kemanakah Jiwa Pergi Setelah Kita Meninggal Dunia?

Kemanakah Jiwa Pergi Setelah Kita Meninggal Dunia
Suami dan saya berselisih pendapat mengenai kemana jiwa kita pergi setelah kita meninggal dunia. Saya percaya bahwa kita langsung menghadapi pengadilan dan jika kita didapati layak, maka jiwa kita akan segera menuju surga. Suami saya percaya bahwa kita tidak akan diadili hingga kedatangan Yesus yang kedua kalinya pada Hari Penghakiman dan bahwa tak satu pun jiwa pergi ke surga hingga saat itu. Dapatkah dijelaskan bagaimana ajaran Gereja yang sebenarnya?

~ seorang pembaca di Alexandria

Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa ketika seseorang meninggal dunia, jiwanya terpisah dari raganya. Ia kemudian berada di hadapan pengadilan Tuhan. Patut diingat bahwa jiwa adalah “siapa” kita sebenarnya: sementara tubuh kita mati, jiwa kita - diri kita yang sebenarnya - tetap hidup dan kembali kepada Tuhan untuk menghadapi pengadilan. Katekismus Gereja Katolik dengan jelas mengajarkan, “Pada saat kematian setiap manusia menerima ganjaran abadi dalam jiwanya yang tidak dapat mati. Ini berlangsung dalam satu pengadilan khusus, yang menghubungkan kehidupannya dengan Kristus: entah masuk ke dalam kebahagiaan surgawi melalui suatu penyucian, atau langsung masuk ke dalam kebahagiaan surgawi ataupun mengutuki diri untuk selama-lamanya.” (1022)


Mari kita telaah ajaran ini: Saat kita meninggal dunia, jiwa kita segera menghadap pengadilan. Kita harus mempertanggung-jawabkan hidup kita, atas segala hal baik yang kita lakukan dan segala dosa yang kita perbuat. Kita menyebutnya Pengadilan Khusus sebab pengadilan ini khusus bagi Kemanakah Jiwa Pergi Setelah Kita Meninggal Duniatiap-tiap orang. Jika kita bebas dari segala bentuk dosa dan luka akibat dosa, kita akan segera disambut dalam surga, di mana kita akan menikmati kebahagiaan surgawi, memandang Tuhan dari muka ke muka. Jika kita meninggal dunia dengan menanggung dosa-dosa ringan atau luka akibat dosa, Tuhan dalam kasih dan kerahiman-Nya akan terlebih dahulu memurnikan serta memulihkan jiwa dalam api penyucian; setelah pemurnian dan pemulihan, barulah jiwa kita disambut dalam surga. Tetapi, jika kita meninggal dalam keadaan menolak Tuhan, dengan menanggung dosa-dosa berat dan tanpa sesal atas dosa-dosa berat tersebut, maka kita akan melemparkan diri kita sendiri ke dalam neraka; ketegaran hati kita dalam menolak Tuhan yang kita lakukan semasa di dunia ini, akan terus berlanjut di kehidupan yang akan datang. Ajaran ini dipertegas dengan pernyataan Kristus kepada St Dismas, penyamun yang bertobat, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk 23:43) (Catatan bahwa ajaran mengenai pengadilan khusus ini dijabarkan dalam Konsili Lyon II pada tahun 1274).

Pada akhir jaman, Kristus akan datang kembali untuk mengadili orang yang hidup dan yang mati. Dalam Injil St Yohanes, Kristus mengajarkan, “Dan Ia telah memberikan kuasa kepada-Nya [Yesus] untuk menghakimi, karena Ia adalah Anak Manusia. Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.” (Yoh 5:27-29). Dan lagi Katekismus mengajarkan, “Di depan Kristus, yang adalah kebenaran, akan nyata secara definitif hubungan setiap manusia dengan Allah yang sebenarnya. Pengadilan terakhir akan membuka sampai ke akibat-akibat yang paling jauh, kebaikan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh setiap orang selama hidupnya di dunia ini.” (No. 1039). Dalam pengadilan terakhir, individu bukannya berdiri sendiri, melainkan ia juga diadili sebagai anggota masyarakat dan di hadapan segenap komunitas umat manusia. Mereka yang telah meninggal dunia dan diadili tetap tinggal di surga atau di neraka; mereka yang belum meninggal dunia sekarang akan diadili dan masuk surga atau neraka. Karena sejak pengadilan terakhir hanya surga dan neraka saja yang ada, St Agustinus dan yang lainnya beranggapan bahwa segala penyucian jiwa - bagi mereka yang telah berada di api penyucian dan sekarang mereka menunggu pengadilan dalam pengadilan terakhir ini - akan berakhir.Demikianlah secara ringkas ajaran Gereja mengenai pengadilan jiwa. Entah kita akan menghadapi pengadilan khusus ataupun pengadilan terakhir, kita harus siap untuk menghadapinya. Uskup Agung Fulton Sheen mengatakan, “Sebab ketika tirai diturunkan pada hari terakhir, dan kita menjawab panggilan untuk menghadapi pengadilan, kita tidak akan ditanya peran apa yang kita mainkan, tetapi bagaimana kita memainkan peran yang dipercayakan kepada kita.” (Moods and Truths, 75).



* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Where Does the Soul Go after We Die?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1999 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Kamis, 30 Oktober 2008

Rapat Internasional Setan

Rapat Internasional Setan Setan mengadakan rapat internasional.


Dalam kata sambutannya kepada para iblis yang berkumpul itu, setan mengatakan:


Kita tidak dapat mencegah umat Kristiani pergi ke gereja. Kita tidak dapat mencegah mereka membaca Kitab Suci dan menemukan kebenaran. Kita bahkan tidak dapat menjauhkan mereka dari nilai-nilai tradisi yang luhur. Namun demikian, kita harus dapat melakukan sesuatu. Kita akan mencegah mereka membangun hubungan yang akrab, mesra serta abadi dengan Kristus. Jika umat Kristiani itu mempunyai hubungan yang akrab dan mesra dengan Yesus, kuasa kita atas mereka akan hancur. Jadi, biarkan mereka pergi ke gereja, biarkan mereka hidup seturut tradisi mereka yang luhur, tetapi curilah waktu mereka, sehingga mereka tidak dapat membangun hubungan tersebut.


Inilah yang aku ingin kalian lakukan. Ganggu dan cobai mereka dalam mempertahankan serta memelihara hubungan yang amat penting tersebut dengan Sang Juruselamat!”


Bagaimana kita dapat melakukannya?” teriak para iblis.


Buatlah mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak penting. Temukan cara untuk menghabiskan waktu mereka,” jawab setan.


Bujuklah mereka agar menjadi boros, boros dan boros sehingga mereka berhutang, berhutang dan berhutang. Yakinkan para istri agar pergi bekerja dengan jam kerja yang panjang dan para suami untuk bekerja 6 hingga 7 hari per minggu, 10 sampai 12 jam per hari, agar mereka memiliki cukup uang untuk menunjang gaya hidup mereka. Cegah mereka melewatkan waktu bersama anak-anak mereka. Jika keluarga mereka terpecah, pastilah rumah mereka tidak lagi dapat menjadi tempat istirahat dari tekanan pekerjaan. Juga:


Kacaukan pikiran mereka supaya mereka tidak dapat mendengar suara batin mereka.


Rayulah mereka untuk menghidupkan radio atau tape setiap kali mereka bepergian, serta menonton TV, VCD atau pun main play station dan komputer secara terus-menerus di rumah mereka.


Pastikan bahwa toko-toko dan juga restauran-restauran di seluruh dunia menggemakan musik duniawi secara terus-menerus. Lagu-lagu itu akan menyesatkan pikiran mereka dan dengan demikian memutuskan hubungan mereka dengan Kristus.


Penuhi meja-meja mereka dengan suratkabar-suratkabar serta majalah-majalah duniawi.


Jejali pikiran mereka dengan berita-berita terhangat 24 jam sehari.


Serbu saat-saat mereka berkendaraan dengan papan-papan reklame.


Banjiri kotak-kotak surat mereka dengan surat-surat yang tidak berguna, surat undian/lotere, brosur-brosur, segala jenis surat penawaran dan promosi, barang-barang obral, jasa serta harapan-harapan palsu.


Pada saat rekreasi, biarkan mereka berhura-hura sepuasnya. Biarkan mereka pulang dari rekreasi dalam keadaan capai, lelah, gelisah dan tidak siap menyambut hari yang baru.


Jangan biarkan mereka pergi menikmati keindahan alam dan mengagumi karya ciptaan Tuhan. Sebaliknya, antar saja mereka ke taman-taman hiburan, pertandingan olah raga, konser dan bioskop-bioskop.


Jika mereka berkumpul dalam persekutuan doa, libatkan mereka dalam gosip dan isu-isu sehingga mereka pulang dengan pikiran terbeban dan emosi terganggu.


Biarkan mereka terlibat dalam misi mencari jiwa, tetapi limpahilah hidup mereka dengan begitu banyak kesenangan sehingga mereka tidak punya waktu untuk mencari kuasa Kristus dalam doa. Segera mereka akan bekerja dengan mengandalkan kekuatan mereka sendiri, mengorbankan kesehatan dan keluarga mereka demi kesenangan yang mereka cari.”



RISALAH RAPAT:

Rapat yang hebat. Para iblis pergi dengan penuh semangat untuk melaksanakan tugas mereka, yaitu membuat umat Kristiani di mana pun menjadi sibuk, sibuk dan sibuk, pergi ke sana dan ke sini.

Apakah setan berhasil dengan rencananya itu? Kamulah jurinya.

Coba lihat definisi ini SIBUK: Si Iblis BUtakan Kamu, sehingga kamu tidak dapat datang kepada sang Terang; atau dalam bahasa Inggris BUSY: Being Under Satan's Yoke, kamu ada dalam kuasa setan.


sumber : Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Francis J. Peffley.”

Seperti Apakah Api Pencucian itu?


Apakah kita tahu apa yang terjadi di api penyucian? Saya mengunjungi suatu Biara Fransiskan dan dalam area katakomba terdapat sebuah kapel bagi jiwa-jiwa menderita di api penyucian yang menggambarkan jiwa-jiwa tersebut dalam api. Apakah Api Penyucian memang benar seperti ini? ~ seorang pembaca di Washington Katekismus Gereja Katolik dengan jelas menegaskan keyakinan Gereja akan api penyucian dan pemurnian jiwa sesudah kematian, “Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamatan abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan satu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam kegembiraan surga. Gereja menamakan penyucian akhir para terpilih, yang sangat berbeda dengan siksa para terkutuk, purgatorium [api penyucian]” (no. 1030-31). Dari ajaran dasar ini, wajib kita camkan bahwa (1) masa tinggal seorang di purgatorium adalah sementara, (2) purgatorium berbeda dari neraka, dan (3) seorang dalam purgatorium menjalani pemurnian atas dosa-dosa ringan dan luka-luka akibat dosa. Seperti apakah pemurnian ini? Seperti neraka, ada siksa kerinduan dan siksa rasa: tetapi, kedahsyatan siksa ini sungguh amat berbeda antara neraka dan purgatorium. Siksa kerinduan bagi mereka yang di purgatorium adalah dijauhkan sementara dari pandangan yang membahagiakan akan Tuhan [= visio beatifica]. Masing-masing dari kita rindu bersama Tuhan, menatap-Nya dan dilingkupi dalam kasih-Nya. Konstitusi Apostolik Benedictus Deus (1336) yang diterbitkan oleh Paus Benediktus XII mendefinisikan bahwa jiwa-jiwa orang benar “… melihat hakekat ilahi dengan suatu pandangan intuitif dan bahkan muka dengan muka, tanpa perantaraan suatu makhluk sebagai obyek pandangan; melainkan, hakekat ilahi segera menyatakan diri-Nya kepada mereka, dengan terang, jelas dan terbuka, dan dalam pandangan ini mereka menikmati hakekat ilahi.” Sebab itu, jiwa-jiwa dalam purgatorium merindukan pandangan ini. Keadaan rindu dan dijauhkan dari pandangan yang membahagiakan inilah yang menyiksa jiwa-jiwa. Siksa rasa meliputi penderitaan yang dapat dirasa. Walau tidak didefinisikan, secara tradisional siksa rasa ini menyangkut api pemurnian yang mengakibatkan penderitaan. Dalam Kitab Nabi Zakharia, Tuhan bersabda, “Aku akan menaruh yang sepertiga itu dalam api dan akan memurnikan mereka seperti orang memurnikan perak. Aku akan menguji mereka, seperti orang menguji emas” (13:9); Sekolah Rabbi Shammai menafsirkan ayat ini sebagai pemurnian jiwa melalui belas kasihan dan kebaikan Tuhan, mempersiapkan jiwa untuk kehidupan kekal. Ayat serupa didapati dalam Kitab Kebijaksanaan (3:1-9), “Tetapi jiwa orang benar ada di tangan Allah, dan siksaan tiada menimpa mereka … Setelah disiksa sebentar mereka menerima anugerah yang besar, sebab Allah hanya menguji mereka, lalu mendapati mereka layak bagi DiriNya. Laksana emas dalam dapur api diperiksalah mereka oleh-Nya, lalu diterima bagaikan korban bakaran.” Renungkanlah gambaran emas atau perak yang “diuji dalam api”. Ketika logam-logam mulia ini ditambang dari bumi, bahan galian atau bebatuan lainnya menyertai. Dengan api, kotoran ini dipisahkan, sehingga tinggallah emas atau perak murni. Demikian pula, suatu jiwa yang masih kotor karena dosa-dosa ringan atau luka-luka akibat dosa akan harus terlebih dahulu dimurnikan, yaitu “diuji dalam api”. Mungkin suatu versi yang lebih modern adalah gagasan mengenai terapi radiasi yang “membakar” sel-sel kanker; sementara terapi yang demikian sangat menyakitkan, pasien memiliki harapan untuk sehat kembali. Dalam terang yang lebih positif, St Fransiskus de Sales menulis tentang penderitaan di purgatorium, tetapi dengan diringankan oleh penghiburan-penghiburan yang menyertainya, “Dari pikiran akan purgatorium ini kita dapat lebih menimba penghiburan daripada ketakutan. Sebagian besar dari mereka yang takut akan purgatorium jauh lebih memikirkan kepentingan diri mereka sendiri daripada kepentingan kemuliaan Tuhan; ini berasal dari kenyataan bahwa mereka memikirkan hanya penderitaan tanpa memikirkan damai dan kebahagiaan yang ada, yang dinikmati oleh jiwa-jiwa kudus. Memang benar bahwa siksa ini begitu hebat sehingga penderitaan yang paling dahsyat dalam hidup ini tak sebanding dengannya; tetapi kepuasan batin yang ada, yang dinikmati adalah begitu luar biasa sehingga tak ada ketentraman ataupun kepuasan di dunia yang dapat menyamainya. Jiwa-jiwa berada dalam persatuan yang terus-menerus dengan Tuhan” (Espirit de St. Francois de Sales, IX, p. 16, quoted in Purgatory by Rev. F. X. Shouppe, S.J.). Demikian pula, dalam “Crossing the Threshold of Hope” Paus Yohanes Paulus II menghubungkan “api kasih” Allah yang bernyala-nyala yang disebut-sebut oleh St. Yohanes dari Salib dengan doktrin api penyucian: “Api kasih yang bernyala-nyala” yang dibicarakan oleh St Yohanes, terutama sekali merupakan api yang memurnikan. Malam-malam gelap yang digambarkan oleh Doktor Gereja yang mengagumkan ini berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri, serupa, dalam arti tertentu, dengan api penyucian. Tuhan membuat manusia melewati penyucian batin yang demikian dari hawa nafsu dan kodrat rohaninya guna membawanya ke dalam persatuan dengan Diri-Nya Sendiri. Di sini, kita tidak mendapati diri kita di hadapan suatu pengadilan belaka. Kita menghadirkan diri di hadapan kuasa kasih itu sendiri. Dan yang terutama, kasihlah yang menghakimi. Tuhan, yang adalah kasih, menghakimi lewat kasih. Kasihlah yang menuntut pemurnian, sebelum manusia menjadi siap untuk bersatu dengan Tuhan yang adalah panggilan dan kodratnya yang utama.” Sebab itu, sekali lagi, ada pada kita suatu gambaran yang amat positif mengenai purgatorium. Namun demikian, gambaran-gambaran kuno mengenai jiwa-jiwa yang menderita di api purgatorium hendaknya memotivasi kita sekarang untuk secara teratur memeriksa batin, mengaku dosa, dan bermatiraga. Kita membutuhkan rahmat yang datang melalui doa dan teristimewa melalui Ekaristi Kudus. Kita wajib berjuang demi kekudusan sekarang ini dan memelihara persatuan yang kuat dan akrab dengan Tuhan. Sikap yang demikian dan praktek yang demikian akan merupakan persiapan terbaik bagi kita apabila kita meninggalkan dunia ini dan harus mempertanggungjawabkan hidup kita di hadapan Tuhan. * Fr. Saunders pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in Alexandria. sumber : “Straight Answers: What Is Purgatory Like?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2005 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

ROTI HIDUP YANG TERBAGI

Misa anak dan remaja tanggal 25 Mei 2008 kebetulan bertepatan dengan misa untuk penerimaan komuni pertama dan menurut kalender liturgi gereja merupakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Misa kali ini mengambil tema MENJADI ROTI HIDUP YANG TERBAGI. Awalnya PANTAP akan menggunakan tema “Menjadi Roti Hidup yang Terberkati”, namun ketika kami konsultasikan dengan Rm. Agus, Romo bilang kalau Roti Hidup itu jelas sudah terberkati, sehingga tema akhirnya diganti Menjadi Roti Hidup yang Terbagi. Maksudnya sebagai roti yang terberkati, kita dan anak-anak khususnya dapat membagikan hidup kita untuk kebahagiaan sesama, dan agar anak-anak memahami bahwa Yesus adalah roti kehidupan bagi umat manusia.
Pada malam hari tanggal 24 Mei 2008, sepulang mengantar anak-anak live in di Wisma Bethlehem, kami mengerjakan tema tersebut dibantu anak-anak MUDIKA Paroki.

Misa diawali denga prosesi penerimaan calon komuni pertama di depan gereja oleh Rm. Agus. Sedangkan misdinar, lektordan prodiakon menunggu di depan altar.. Misa dimulai tepat pukul 08.30 WIB. Setelah prosesi, Romo masuk dalam gereja diikuti anak-anak calon penerima komuni pertama diiringi lagu pembukaan dari koor SD Kanisius. Anak-anak calon komuni pertama berpakaian putih-putih yang anak perempuan semuanya memakai bando putih, anak laki-laki memakai dasi kupu-kupu warna hitam. Semua terlihat rapi dan bersih. Para orang tua calon komuni pertama tidak ikut prosesi, mereka sudah langsung duduk ditempat yang sudah disediakan oleh penitia komuni pertama. Kami juga salut kepada semua orang tua yang saat misa anak ini, membawa anak-anak mereka, walau duduk sampai di luar gereja (Halaman dan bangsal), tidak ada yang rebut, lari-lari dan lain-lain. Setelah kata pembuka, seruan tobat, Tuhan kasihanilah kami, kemuliaan, Doa pembuka, masuk pada liturgi sabda.
Bacaan I (Ul 8 : 2-3. 14b-16a) oleh adik Eleonora Indira Larasati (calon komuni pertama) Start awal baik, tapi mulai pertengahan samapi akhir bacaan banyak yang salah, tidak stabil untuk power suara dalam membaca firman Tuhan.
Mazmur 147 oleh adik Agnes dari SD Kanisius, menyanyikanya sangat baik, suara merdu dan pembawaan cukup tenang.
Bacaan II (1Kor 10: 16 -17) oleh adik Mateus Sri Kuncoro (calon penerima komuni pertama). Waktu latihan selalu salah dan terlalu cepat, untunglah saat hari H nya oke banget. Bisa nich jadi anggota lector.
Alleluya 957, cukup baik dinyanyikan oleh adik Agnes
Bacaan Injil (Yoh 6 : 51 – 59) oleh Rm. Agus, MSF
Homili oleh Rm. Agus pada misa ini sangat bagus, secara garis besar :
Romo bertanya khususnya pada anak-anak tentang siapa yang suka atau pernah makan hamburger atau pizza ? Suka mana makan hamburger, pizza atau hosti. Anak-anak menjawab hosti…. Haha……. Romo bilang : Yang benar ? Pasti karena disuruh Bapak Ibunya jadi jawabnya hosti…. Hosti itu kan roti tipis, bundar dan tidak berasa. Mengapa hosti itu putih dan bulat ? Karena merupakan lambang kesatuan. Komuni adalah persatuan dengan Kristus dan juga dengan anggota-angota Kristus lainnya, yaitu umat yang berkumpul di gereja, saat memecahkan roti merupakan lambing suatu kesatuan, kita yang jumlahnya banyak ini dijadikan satu oleh roti yang satu itu yaitu Kristus sendiri.
Saat misa berlangsung memang wajar jika ada anak-anak yang ribut , menangis, lari-lari dan lain-lain, tapi diharapkan peran orang tua yan paling penting dalam perkembangan iman anak, jangan sampai orang tua tidak peduli anaknya sedang apa saat misa berlangsung. Anak-anak akan nurut, kalau diberitahu dengan baik misalnya : Diam ya, duduk yang tenang, Romo sedang membacakan firman Tuhan, atau duduk yang manis, tidak lari-lari dulu Romo sedang kotbah, didengarkan ya! Dan lain-lain.
Romo juga sangat berharap agar anak-anak yang sudah menerima komuni pertama tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi harus mengikuti segala aktivitas dan kegiatan liturgy gereja seperti menjadi misdinar, petugas koor, lector, mazmur dan lain-lain. Amin

Janji baptis, lilin dinyalakan
Doa umat oleh Yohanes Arya Wibisono, Severina Shania Dilla ayu dan Pasutri Heru Jatmiko. Jelas dalam membaca doa umat khusus komuni pertama. Doa umat ujub dibacakan oleh Kak Siska, dilanjutkan dengan pengumuman.
Arak-arakan persembahan dari para penerima komuni pertama bersama seorang bapak dan seorang ibu. Bacaan menghunjukkan persembahan, kami ganti tidak mengikuti buku panduan karena dalam pelaksanaannya akan terlalu repot. Kami gabungkan menjadi kata-kata yang sudah mencakup keseluruhan persembahan. Doa persembahan gabungan buatan Kak Nona itu, bunyi adalah sebagai berikut :
Romo, kami mewakili teman-teman dan umat paroki St. Paulus yang hadir pada perayaan ekaristi ini menghaturkan persembahan berupa :
Lilin yang menyala sebagai lambang Kristus yang telah bangkit.
Rangkaian bunga sebagai lambang hati kami
Buah sebagai lambang buah kehidupan kami
Uang kolekte merupakan sebagian dari tabungan kami,
Roti dan anggur sebagai lambing bersatunya diri dan jiwa kami dengan Yesus
Sudilah Romo menerimanya dan berkenan menyatukan dengan kurban Yesus Kristus pada ekaristi hari in, sehingga menjadi persembahan yang harum mewangi dan berkenan kepada Allah Bapa di surga. Terima kasih Romo.

Kata Pak Edi (Kortimja Tatib), bagus, penggabungan kata-katanya sangat indah , dilaminating dan bisa dipakai lagi untuk penerima komuni pertama selanjutnya.
Setelah doa persembahan, Doa Syukur Agung, Bapa kami, Doa Damai, Anak domba Allah dan komuni. Lagu-lagu komuni yang dibawakan oleh SD Kanisius kurang meriah dan terlalu banyak jeda antara lagu yang satu ke yang lainnya. Padahal komuni kali ini cukup lama. Saat komuni bathu, teratur sekali, semua anak mendapat snack ringan Momogi?Toya-toya dan yang terpenting tidak ada tangisan, tidak ada anak yang teriak-teriak apalagi lari-lari.
Banyak kemajuan yang kami lihat dari 2 kali penyelenggaraan misa anak ini antara lain :
  1. Anak-anak yang hadir sudah bisa mengikuti misa dengan baik, dengan bukti mereka tenang saat misa berlangsung.
  2. Sudah tidak ada yang mondar-mandir di depan altar.
  3. Teratur saat komuni bathuk
  4. Banyak orang tua yang mengajak anak-anaknya untuk merayakan misa kudus in.
Misa kali ini juga memang benar-benar pestanya anak-anak komuni pertama, semua anak mendapat snack :
es krim gratis
snack dari PANTAP untuk petugas liturgi
snack untuk umat anak-anak
snack dari panitia komuni pertama
minuman sehat Energen gratis

Kaka-kakak pendamping nayak yang dapat mengikuti misa dengan baik. Tidak terlalu repot lagi saat mengatur adik-adik.
Untuk tatib, dari Mudika Wilayah G St. Paulus, good job. Misdinar dan para prodiakon, karena kalian juga perayaan misa anak ini berjalan dengan tertib dan teratur.

visi-misi

VISI
Umat Allah Paroki Santo Paulus Sendangguwo dalam bimbingan Roh Kudus berupaya semakin setia mengikuti Yesus Kristus dalam mewujudkan Kerajaan Allah yang memerdekakan.

MISI
1. Mengembangkan Persekutuan Paguyuban – paguyuban.
2. Memberdayakan anak, remaja dan kaum muda.
3. Memperhatikan Kaum Kecil, Lemah, Miskin dan Tersingkir.
4. Memperhatikan Keluarga – keluarga.
5. Mengembangkan sarana prasarana gereja.
6. Membangun dan mengembangkan habitus baru dalam hidup bermasyarakat.


STRATEGI
Tata Penggembalaan yang mengikutsertakan dan memberdayakan seluruh Umat yang memiliki semangat solidaritas, jujur , dapat dipercaya , transparan dan dapat dipertanggung jawabkan serta kemauan bekerjasama dengan siapapun yang berkehendak baik.