JAM  KERJA  SEKRETARIAT  GEREJA :       Selasa ~ Sabtu : 08.00 - 19.00,  Istirahat : 12.00 - 13.00            Minggu   : Pagi 07.00 - 10.00 , Sore 17.00 - 19.00.             LIBUR setiap Hari Senin dan Hari Libur Nasional           Telp : 6711509

Kamis, 28 Juni 2012

EKARISTI , ANTARA ALTAR DAN PASAR

EKARISTI , ANTARA ALTAR DAN PASAR
Romo Hans Handrianto Widjaja Pr

Pesta Tubuh dan Darah Kristus ditetapkan sesudah terjadinya mujizat Ekaristi di Orvieto dan Bolsena,Italia tahun 1263. Pada waktu itu ajaran sesat yang disebut Berengarianisme merajalela di Eropa. Bidaah ini menyangkal Kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi.
Seorang imam sedang dalam perjalanan ziarah ke Roma untuk mohon peneguhan dalam panggilannya sekaligus untuk menghilangkan keragu-raguannya akan kehadiran Yesus dalam Ekaristi.
Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Bolsena, sebuah kota kecil sebelah utara Roma. Pada waktu ia mempersembahkan Misa di Bolsena, pada saat konsekrasi, sementara ia mengatakan, “Ini Tubuh-Ku,” hosti mulai berdarah dengan hebat.
Imam mengambil korporal untuk membungkus Hosti yang berdarah. Darah menetes jatuh ke atas lantai marmer di depan altar. Imam segera membawa Hosti kepada Paus Urbanus IV yang waktu itu sedang berada di Orvieto yang tak jauh dari sana.
Bapa Suci menyatakan bahwa mukjizat ekaristi telah terjadi untuk mengusir bidaah Berengarianisme. Bapa Suci juga menetapkan suatu pesta baru, Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, untuk mengenang Mukjizat Bolsena.

O Salutatis
St. Thomas Aquinas menulis dua buah lagu puji-pujian, “O Salutatis” dan “Tantum Ergo,” yang masih dinyanyikan hingga kini. Ubin-ubin marmer yang ternoda darah disimpan di Bolsena dan korporal yang ternoda darah disimpan di Orvieto.
Perayaan ini jatuh pada Minggu kedua sesudah masa Paskah selesai, tujuannya agar kita dapat menikmati dan menghidupi kurnia Paskah, kurban Kristus dan kebangkitanNya dalam hidup sehari-hari setiap kali kita merayakan Ekaristi.
Bagaimana pelaksanaannya? Ada dua hal yang mempengaruhi. Yang pertama: semua yang rutin, akhirnya terasa biasa. Hal kedua, nampaknya ada keterpisahan antara Ekaristi dengan hidup sehari-hari. Ekaristi, bagi kita upacaya yang khidmad, khusuk. Hidup sehari-hari, santai, apa adanya disatu sisi; dan penuh ketegangan dan susah payah di sisi lain.
Ekaristi yang khusuk dan khidmad, dapat memberi kekuatan bagi orang yang serius. Tetapi bagi banyak orang yang sekedar datang karena kebiasaan, maka Ekaristi terasa membosankan. Hal itu nampak juga dalam sikap mengikuti Ekaristi. Terlambat datang, suka duduk di luar, tidak aktif ikut menyanyi, tugas sekadar dijalankan, tidak ada kegembiraan dan semangat.
Tetapi apakah selalu begitu? Tidak juga. Kalau ada acara khusus, persiapan pengantin, hari-hari besar Gereja, ada kegairahan dalam berlatih menyanyi, kerja bakti yang giat. Ada semangat dan kegembiraan baik dalam persiapan maupun dalam pelaksanaan seluruh kegiatan. Bukankah hal ini juga mencerminkan situasi hidup kita? Hidup setiap hari kita jalani sebagai rutinitas, sekedar jalan tanpa gairah. Jika ada sesuatu yang khas, baru hidup ada selingan dan variasi.
Tetapi variasi hidup tentu tidak diharapkan terjadi tiap hari. Hidup yang tiap hari berubah merupakan kekacauan dan kebingungan dalam hidup. Jadi, untuk memberi makna hidup sehari-hari dengan apa yang kita rayakan dalam Ekaristi, kita tidak cukup menemukan Kristus dalam ibadat saja; kita perlu membawa Kristus dalam hidup sehari-hari. Kita perlu membawa Kristus dari altar ke pasar.

Ada sebuah pertemuan yang baru selesai Sabtu siang. Semua orang bergegas menuju airport untuk segera pulang berakhir pekan ke rumah. Dalam ketergesaan, beberapa orang menabrak meja penjual apel. Meja itu terbalik dan apelnya bertebaran kemana-mana. Tapi tidak ada yang perduli.
Semua bergegas masuk untuk check in supaya tidak terlambat. Kecuali satu orang, yang berhenti. Ia merasa kasihan kepada gadis penjual apel itu. Ia hanya titip pesan kepada temannya, untuk beritahu istrinya dia akan terlambat pulang.
Ternyata gadis itu buta dan hanya dapat menangis, merangkak meraba-raba mencari buah apel yang bertebaran kemana-mana. Bapak itu membantu mengumpulkan kembali buah-buah apel itu, mendirikan meja jualannya kembali dan mengatur ulang buah apel itu untuk dijual. Tetapi ia melihat bahwa beberapa buah sudah rusak. Buah-buah itu disendirikan.
Ia mengambil uang dan memberikannya kepada gadis itu. “ini uang Rp. 200.000. maafkan teman saya yang menabrak kamu. Apa kamu sekarang baik-baik saja?” Gadis itu mengangguk. Ketika bapak itu melangkah pergi, gadis buta itu memanggil: “Pak…!” Ia berhenti dan menengok ke gadis itu. “Apa bapak ini Yesus?” Bapak itu terpana, lalu berjalan masuk ke terminal. Pertanyaan itu terus terngiang di telinganya.
Apakah orang bisa salah mengira bahwa kita adalah Yesus? Bukankah seharusnya begitu? Di dunia yang buta akan kasih, hidup dan berkatNya, kita diharapkan menjadi seperti Yesus, sehingga orang menemukan Yesus dalam iman, hidup, tindakan dan perkataan kita. Mengenal Dia, lebih dari pada sekedar hadir di Gereja, mengutip Kitab Suci; tetapi menghidupi SabdaNya sebagai hidup yang semakin terbuka dari hari ke hari.

Buah apel yang rusak
Kita adalah buah-buah apel rusak karena kejatuhan kita. Yesus berhenti dari apa yang dilakukanNya di surga. Ia mengambil anda dan saya, membawanya ke atas bukit Golgota dan membayar penuh ganti rugi atas buah apel yang rusak itu. Kita diharapkan dapat hidup sepadan dengan harga yang telah dibayarkanNya.
Bapak tadi membawa Yesus dari altar ke bandara. Jika kita dapat bertindak dan hidup seperti itu, membawa Yesus dari altar ke pasar; dari Gereja ke tengah keluarga, masyarakat, dunia kerja dan lingkungan hidup kita, maka tubuh dan darah Kristus sudah meresap dalam diri kita.
Dan sebaliknya, kita juga dapat membawa pengalaman, perjuangan dan buah-buah hidup kita sebagai persembahan ke altar, untuk dipersatukan dengan kurban Kristus. Jika kita melakukan hal itu, mungkin Perayaan Ekaristi masih terasa rutin dan biasa-biasa. Tetapi seperti makanan sehari-hari yang kita makan tiap hari, mungkin tidak terlalu enak, agak membosankan.
Tetapi bukan pesta dan makan di restoran yang membuat kita hidup dan sehat, tetapi makanan sehari-hari yang kita terima yang memberi kesehatan dan hidup pada kita. Dan jika kita membawa hidup dengan pengalaman, perjuangan dan hasilnya kembali ke altar, maka Kristus juga dapat mempersatukan setiap dari kita dengan Tubuh dan DarahNya, dengan hidupNya, dengan diriNya sendiri. Apa yang kita bawa hari ini kepada Tuhan Yesus? Amin


Romo Hans Handrianto Widjaja Pr,
Pastor diosesan Keuskupan Denpasar, Bali, Indonesia

diposting 27 Juni 2012 pada sesawi.net

Tidak ada komentar: