III. Pengetahuan tentang Allah menurut Ajaran Gereja
36. "Bunda Gereja kudus memegang teguh dan mengajar bahwa Allah, sumber dan tujuan segala makhluk, dapat diketahui dari segala makhluk ciptaan, melalui sinar kodrati akal budi manusia" (Konsili Vatikan 1: DS 3004)
37. Namun, dalam kondisi sejarah di mana ia berada, manusia mengalami banyak kesulitan untuk mengenal Allah hanya dengan bantuan sinar akal budinya.
"Walaupun akal budi manusia, untuk berbicara secara sederhana saja, melalui kekuatan kodrati dan sinarnya benar-benar dapat sampai kepada pengertian yang benar dan pasti mengenai satu Allah yang berkepribadian, yang melindungi dan membimbing dunia ini dengan penyelenggaraannya, namun terdapat pula halangan yang tidak sedikit bahwa akal budi itu akan mempergunakan secara berdaya guna dan berhasil, kemampuan yang merupakan bakat pembawaan sejak lahir. Karena kebenaran yang menyangkut Allah serta hubungan antara Allah dan manusia sungguh melampaui tata dunia yang kelihatan;
kalau diterapkan pada cara hidup manusia untuk membentuknya, maka kebenaran-kebenaran itu akan menuntut pengurbanan diri dan penyangkalan diri. Akan tetapi, akal budi manusia mengalami kesulitan dalam usahanya untuk mencari kebenaran-kebenaran yang demikian itu, bukan hanya karena dorongan panca indera dan khayalan, melainkan juga karena nafsu yang salah, yang merupakan akibat dari dosa asal. Maka, terjadilah bahwa manusia dalam hal-hal yang demikian itu, mudah meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang mereka tidak inginkan sebagai benar adalah palsu atau paling kurang tidak pasti" (Pius XII Ens. "Humani Generis": DS 3875).
38. Karena itu, perlu bahwa oleh wahyu ilahi, manusia tidak hanya diterangi mengenai apa yang mengatasi daya akal budinya, tetapi juga mengenai apa yang sebenarnya dapat diterobos oleh akal budi dalam masalah-masalah agama dan susila", sehingga "juga dalam kondisi umat manusia dewasa ini hal-hal itu dapat diketahui oleh semua orang tanpa kesulitan, dengan kepastian yang jitu, tanpa mencampur-adukkannya dengan suatu kekeliruan" (ibid., 3876)
IV. Bagaimana Berbicara tentang Allah
39. Gereja berkeyakinan, bahwa akal budi manusia dapat mengenal Allah. Dengan itu, ia memperlihatkan kepercayaan teguh bahwa mungkin sekali ia berbicara tentang Allah kepada semua manusia dan dengan semua manusia. Keyakinan itu mendasari dialognya dengan agama-agama lain, dengan filsafat dan dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga dengan kaum tak beriman dan dengan kaum ateis.
40. Karena pengetahuan kita tentang Allah itu terbatas, maka pembicaraan kita tentang Allah pun demikian juga. Kita hanya dapat berbicara tentang Allah dari sudut pandang ciptaan dan sesuai dengan cara mengerti dan cara berpikir manusiawi kita yang terbatas.
41. Segala makhluk menunjukkan keserupaan tertentu dengan Allah, terutama manusia yang diciptakan menurut citra Allah. Karena itu, aneka ragam kesempurnaan makhluk ciptaan (kebenarannya, kebaikannya, keindahannya) mencerminkan kesempurnaan Allah yang tidak terbatas. Maka, berdasarkan kesempurnaan makhluk ciptaan, kita dapat membuat pernyataan tentang Allah "sebab orang dapat mengenal Khalik dengan membanding-bandingkan kebesaran dan keindahan ciptaan-ciptaan-Nya" (Keb 13:5).
42. Allah itu agung melebihi setiap makhluk. Karena itu, kita harus membersihkan pembicaraan kita tentang Dia terus-menerus dari segala keterbatasan, dari segala gambaran, dari segala ketidaksempurnaan, supaya jangan menggantikan Allah "yang tidak terucapkan, yang tidak dimengerti, yang tidak kelihatan, yang tidak dibayangkan" (Liturgi santo Yohanes Kristostomus, Doa Syukur Agung) dengan gambaran-gambaran manusiawi kita tentang Dia. Kata-kata manusiawi kita tidak pernah akan mencapai misteri Allah.
43. Kalau kita berbicara tentang Allah dengan cara demikian, maka bahasa kita memang mengungkapkan diri secara manusiawi, namun dengan sebenarnya menyangkut Allah sendiri, walaupun tidak mampu menyatakan Dia dalam kesederhanaan-Nya yang tidak terbatas. Kita harus sadar, bahwa "antara Pencipta dan ciptaan tidak dapat dinyatakan satu keserupaan tanpa menegaskan satu ketidakserupaan yang lebih besar lagi" (Konsili Lateran 4: DS 806). "Mengenai Allah kita tidak dapat memahami Siapa Dia, tetapi hanya Siapa yang bukan Dia, dan bagaimana semua makhluk yang lain berhubungan dengan Dia" (Tomas Aqu., s.gent. 1,30).
*DV = Dei Verbum
dikutip dari Katekismus Gereja Katolik 'KGK 1Thn'