JAM  KERJA  SEKRETARIAT  GEREJA :       Selasa ~ Sabtu : 08.00 - 19.00,  Istirahat : 12.00 - 13.00            Minggu   : Pagi 07.00 - 10.00 , Sore 17.00 - 19.00.             LIBUR setiap Hari Senin dan Hari Libur Nasional           Telp : 6711509

Kamis, 04 Oktober 2012

IDENTITAS & SPIRITUALITAS SEORANG KATEKIS

IDENTITAS & SPIRITUALITAS SEORANG KATEKIS
Menimba Semangat Pewartaan Santo Paulus
Oleh : F.X. Didik Bagiyowinadi, Pr


Mengawali permenungan ini, saya mengundang kita semua menyimak refleksi St. Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Roma (10:13-15) berikut ini.

12 Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya.
13 Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.
14 Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?
15 Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: "Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!"


Kedatangan seorang pembawa kabar baik (Yun: ton euaggelizomenon) sungguh berarti dan dinanti-nanti. Zaman dahulu kedatangan mereka membawa kabar sukacita, seperti kemenangan perang atau kelahiran putra mahkota. Namun sekarang pembawa kabar baik mewartakan berita sukacita sejati, yakni tentang Yesus Kristus. Bahwa Allah menghendaki semua manusia diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1 Tim 2:4). Kita diselamatkan bukan karena perbuatan baik kita, melainkan “karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus” (Tit 3:5). Melalui pewartaan mereka ini orang bisa mendengar tentang Yesus Kristus dan kemudian beriman kepada-Nya. Tetapi siapakah yang akan diutus menjadi ‘pembawa kabar baik’ ini? Apa yang mesti menjadi motivasi dan semangatnya agar mereka setia menunaikan tugas mulia ini sehingga makin banyak orang mendengar dan mengimani Kristus?
Dalam renungan ini saya mengajak Anda merenungkan semangat pewartaan St. Paulus, sambil di sana-sini kita kaitkan dengan aneka ajaran gereja berkaitan dengan tugas perutusan seorang katekis.

Katekis: Kaum Beriman Awam yang Membimbing Orang untuk Beriman
Dalam tulisan ini ‘katekis’ dibatasi pada katekis awam, kendati pastor paroki sebenarnya adalah katekis utama dan penanggung jawab katekese di parokinya (bdk. Kan 776). Sebagai kaum beriman awam, identitas dan spiritualitas katekis mesti mengalir pula dari jatidirinya sebagai kaum beriman awam. Berkat Sakramen Baptis dan Krisma, dia mengemban tritugas imamat Kristus sebagai imam, nabi, dan raja (LG 31). Tugas kenabian berarti turut mewartakan Injil kepada segala makhluk (Mrk 16:15) dan menjadikan semua bangsa murid Kristus (Mat 28:19-20a). Sebagai kaum beriman awam, tugas kenabian diwujudkan dengan cara memberikan kesaksian hidup Injili (LG 35; bdk. Mat 5:16) dan mewartakan dengan kata-kata (AA 6). Kerap poin kedua ini kurang mendapat perhatian, padahal Konsili Vatikan II dengan tegas menyatakan, “Rasul yang sejati mencari kesempatan-kesempatan untuk mewartakan Kristus dengan kata-kata, baik kepada mereka yang tidak beriman untuk menghantar mereka kepada iman, baik kepada kaum beriman untuk mengajar dan meneguhkan mereka, dan mengajak mereka hidup dengan semangat lebih besar “ (AA 6).

Sementara katekis awam yang berkeluarga, kehidupan perkawinannya merupakan bagian integral spiritualitasnya. Paus Yohanes Paulus II menulis, “para katekis yang telah berkeluarga diharapkan menjadi saksi yang tetap bagi nilai perkawinan Kristiani, yang menghidupi sakramen perkawinan dalam kesetiaan penuh dan mendidik anak mereka dengan rasa tanggung jawab” .

Selanjutnya, para katekis awam ini mendapat panggilan tambahan. “Kemudian Hierarki juga mempercayakan kepada kaum awam berbagai tugas, yang lebih erat berhubungan dengan tugas-tugas gembala, misalnya di bidang pengajaran Kristiani, dalam berbagai upacara liturgi, dalam reksa pastoral. Berdasarkan perutusan itu dalam pelaksanaan tugas mereka para awam wajib mematuhi sepenuhnya Pimpinan Gereja yang lebih tinggi” (AA 24). Secara eksplisit juga dikatakan, “Secara intensif mereka menyumbangkan tenaga dengan menyampaikan sabda Allah, terutama melalui katekese” (AA 10).

Keterlibatan kaum awam dalam pewartaan Injil ini bukanlah hal yang baru. Dalam Perjanjian Baru juga dinyatakan banyak pria dan wanita yang membantu Paulus dalam pewartaan Injil dengan berjerih lelah dalam Tuhan (lih. Flp 4:3; Rom 16:3). Demikian pula pasutri Priskila-Akwila membimbing Apolos, seorang yang fasih tentang Kitab Suci dari Aleksandria, untuk mengenal Jalan Tuhan sehingga kemudian menjadi pewarta Injil yang handal (lih. Kis 18:24-28).

Membimbing dan Mengajar Katekumen
Tujuan katekese adalah persatuan dengan Kristus (GDC 80). Salah satu kelompok yang dibimbing dan diajar oleh para katekis adalah para katekumen/calon baptis. Para calon murid Tuhan ini harus diajar melakukan semua perintah-Nya (Mat 28:20a). Mereka perlu dibimbing untuk menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui dalam kebenaran dan kekudusan (Ef 4:22). Mereka mesti dimotivasi meninggalkan perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang (Rom 13:12). Mereka mesti dibimbing pada kepenuhan pengetahuan akan Allah (lih. 2 Tim 2:4; Ef 4:13). Hukum Gereja memberikan rambu-rambu pengajaran bagi mereka sbb: “Para katekumen, melalui pengajaran dan masa percobaan hidup kristiani, hendaknya diperkenalkan dengan tepat kepada misteri keselamatan serta diantar masuk ke dalam kehidupan iman, liturgi, cinta kasih umat Allah serta hidup kerasulan” (Kan 788§2).

Belajar dari St. Paulus:
Perlunya Kerjasama Rahmat Tuhan dan Upaya Kateketis
Perlu disadari bahwa penggerak utama karya pewartaan Injil adalah Roh Kudus sendiri (EN 75). Hanya oleh rahmat Tuhan seseorang dipanggil menjadi murid Kristus. “Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman, ” demikian Sabda Yesus (Yoh 6:44.bdk. 6:65). Dan hanya oleh Roh Kudus seseorang mampu berkata “Yesus adalah Tuhan” (1 Kor 12:3).

Maka dalam pewartaannya, Paulus tidak mengandalkan kata-katanya sendiri, tetapi terlebih mengandalkan kekuatan Roh (1 Tes 1:5). Sebab dia menyadari bahwa hanya Tuhan yang sanggup membuka pintu untuk pewartaannya (lih. 2 Kor 2:12 dan Kol 4:3). Secara indah dalam Kis, dituturkan bagaimana di tempat sembahyang Yahudi di kota Filipi, Tuhan membuka hati Lidia (Kis 16:14; bdk. Kis 14:27) sehingga ia mendengarkan pewartaan Paulus dan kemudian memberi diri dibaptis beserta keluarganya. Saat mengalami tantangan pewartaan dan dalam perjuangan yang berat, Paulus tetap berani mewartakan Injil semata-mata karena berkat pertolongan Tuhan (1 Tes 2:2). Maka untuk keberhasilan karya misinya ini, tak segan-segan Paulus meminta umat untuk turut mendoakannya. “Selanjutnya, saudara-saudara, berdoalah untuk kami, supaya firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan, sama seperti yang telah terjadi di antara kamu, dan supaya kami terlepas dari para pengacau dan orang-orang jahat, sebab bukan semua orang beroleh iman” demikian pintanya(2 Tes 3:1-2; lih. Rom 15:30-32).

Kendati demikian, bukan berarti usaha dari pihak manusia tidak perlu. Paulus yang dari kecil dididik dalam Taurat dan pernah menjadi murid Gamaliel (Kis 22:3) memang dipersiapkan untuk menjadi alat pilihan di tangan Tuhan untuk mewartakan nama-Nya (Lih. Kis 9:15). Maka penguasaan Paulus akan Kitab Suci memberi andil dalam keberhasilan pewartaannya, sama seperti Apolos (lih. Kis 18:27-28). Dalam mewartakan Injil di kota-kota Yunani, Paulus pertama-tama akan mencari rumah ibadat Yahudi (sinagoga). Sebab di sana dia bisa bertemu dengan orang-orang Yahudi maupun orang-orang yang takut akan Tuhan (simpatisan Yahudi), terlebih di sana dia mendapat peluang untuk memberikan kesaksian tentang Yesus seperti terjadi di Antiokhia Pisidia (Kis 13:14-16) maupun di Tesalonika (Kis 17:2-3). Ketika berada di Filipi dia tidak menemukan rumah ibadat Yahudi, maka dia dan kawan-kawannya menyusuri sungai, sebab tempat sembahyang Yahudi pasti tidak jauh dari sungai untuk mengadakan ritual pembasuhan. Dugaannya tidak meleset (Kis 16:13).

Sementara ketika tiba di Areopagus kota Atena, dia mesti mencari pintu masuk pewartaan. Saat menemukan adanya mezbah untuk “Allah yang tidak dikenal” (Kis 17:23), dia pun menjadikannya sebagai pintu masuk pewartaan Injil. Selanjutnya dengan lantang dia mewartakan bahwa Kristus yang tersalib itu telah bangkit kembali. Suatu pewartaan yang tidak menarik bagi orang-orang Yunani yang mengharapkan pembebasan jiwa dari penjara badan. Kendati tidak banyak membawa hasil (Kis 17:34), terobosan katekese kreatifnya ini patut diapresiasi. Demikian pula aneka kesempatan dipakai oleh Paulus untuk mewartakan Injil, termasuk saat dihadapkan ke sidang Mahkamah Agama Yahudi (Kis 23:6), di hadapan Raja Herodes Agripa II (Kis 26:24-32), maupun saat menjadi tahanan rumah di kota Roma (Kis 28:30-31).

Paulus melakukan apa yang kemudian dinasihatkannya sendiri kepada Titus, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya” (Tit 4:2a). Hal yang sama dilakukan oleh jemaat perdana, saat terjadi penganiayaan di Yerusalem, mereka pun menyebar ke seluruh negeri Palestina. “Mereka yang tersebar itu menjelajah ke seluruh negeri itu sambil memberitakan Injil” (Kis 8:2). Demikian pula Petrus dan Yohanes, dalam perjalanan pulang dari Samaria ke Yerusalem mereka memberitakan Injil dalam banyak kampung di Samaria (Kis 8:25).

Sebagai pewarta firman, Paulus berusaha menyesuaikan diri dengan situasi pendengarnya agar dapat memenangkan mereka semua bagi Injil Tuhan (lih. 1 Kor 9:19-22). Untuk mewartakan Injil ini, Paulus mesti bertekun dan siap mengalami aneka rintangan dan penderitaan (lih. 2 Kor 11:23-28). Lebih dari itu, Paulus berusaha menjadi saksi Injil melalui keteladanan hidupnya. “Dalam hal apapun kami tidak memberi sebab orang tersandung, supaya pelayanan kami jangan sampai dicela” (2 Kor 6:3).

Bagaimana pun juga, dalam pewartaan Injil diperlukan kerjasama rahmat Tuhan dan kerja keras usaha kita. Menarik bahwa Gereja memiliki dua pelindung karya misi, yakni St. Fransiskus Xaverius yang gigih mewartakan Injil kemana-mana (3 Des) dan St. Theresia Lisieux, seorang biarawati kontemplatif yang banyak berdoa untuk para misionaris (1 Okt). Sebagai katekis, upaya memperdalam sumber-sumber iman dan aneka metodenya memang penting, namun juga harus disertai dengan doa yang mendalam.

Tuntutan bagi Seorang Katekis
Mengingat tugas mewartakan Injil ini bukanlah perkara mudah, maka dituntut dari seorang katekis hal-hal berikut ini.
Pertama, yakin akan iman yang hendak diwartakannya. Tulis Paulus, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani” (Rom 1:16).

Kedua, tuntutan belajar terus-menerus baik materi iman yang akan diajarkan supaya terhindar dari hal yang menyesatkan (Luk 17:1-2) dan makin jelas bagi pendengarnya, maupun metode yang lebih sesuai dengan subjek yang dihadapi (lih. Kan 779). Dalam kaitannya semangat belajar ini tetap berlaku prinsip, “Yang mempunyai akan ditambahkan” (bdk. Mat 25:29).

Ketiga, tuntutan menjadi saksi Injil, atas apa yang telah kita wartakan. Tidak cukup bila kita hanya bernubuat dan berkata-kata, sementara perbuatan kita tidak selaras dengan kehendak Tuhan (bdk. Mat 7:22). Kepada Timotius Paulus berpesan, “Awasilah dirimu sendiri dan ajaranmu” (1 Tim 4:16). Dan Paus Paulus VI menulis, “Dunia… membutuhkan pewarta yang berbicara mengenai Tuhan yang mereka kenal dan yang akrab dengan mereka, seakan mereka telah melihat yang Tak Kelihatan itu” (EN 75). Secara lugas dokumen Pedoman Katekis juga menyebut, “Sangat disayangkan kalau mereka ‘tidak mempraktekkan apa yang mereka wartakan’ dan berbicara tentang Tuhan yang secara teoretis mereka tahu baik sekali, tetapi mereka sendiri tidak mempunyai kontak dengan-Nya.”

Keempat, tuntutan terbuka kepada Gereja, dimana keterbukaan ini diungkapkan dalam cinta, pengabdian terhadap pelayanannya, dan kesediaan menderita. Gereja mengharapkan katekis-katekis yang memiliki rasa handarbeni dan tanggung jawab mendalam sebagai anggota yang hidup dan aktif dari Gereja. Secara konkret hal ini tampak dalam kesetiaan mengikuti Misa Mingguan dan partisipasi di lingkungan setempat.

Tantangan Bagi Para Katekis
Selain mesti memenuhi harapan dan tuntutan di atas, seorang katekis akan dihadapkan pada pelbagai tantangan.

Pertama, dari diri kita sendiri. Kita menyadari aneka kelemahan dan kerapuhan kita, ibarat bejana tanah liat, namun syukur pada Allah bahwa kita dipercaya untuk ambil bagian mewartakan Injil. Menyadari kelemahan dan keterbatasan diri, kiranya kita patut bersyukur bila dipercaya mengemban tugas luhur ini. Dan di sinilah kita boleh berharap akan kekuatan dan bantuan Allah, “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami” (2 Kor 4:7).

Kedua, kita akan dihadapkan pada aneka kondisi tanah batin pendengar yang berbeda-beda, tidak selalu tanah yang subur (lih. Mat 13:1-23). Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan. Di lain pihak kita mesti mengimani bahwa para pendengar itu adalah kawanan domba milik Kristus sendiri yang mesti diberi santapan firman dan digembalakan. Cinta akan Kristus memotivasi kita untuk menunaikan tanggungjawab ini (bdk. Yoh 21:15-17).

Ketiga, medan pewartaan yang kita hadapi tidak selalu mudah, sebab dalam pewartaan Injil ini kita tidak memilih sendiri “kawanan domba yang gemuk”, tetapi bersama yang lain kita mau peduli pada kawanan yang dipercayakan kepada kita. Terkadang kita sungguh dituntut berkorban, dihadapkan pada aneka kesulitan dan penganiayaan, kendati mungkin tidak seberat yang dialami oleh St. Paulus (lih. 2 Kor 11:23-28). Sebagai katekis kita tidak ingin seperti benih yang jatuh di tanah berbatu, yang cepat layu karena penindasan dan penganiayaan (Mat 13:20-21). Semoga penderitaan itu justru mematangkan iman kita (bdk. 2 Tim 3:10-13).

Spiritualitas Katekis: Sebuah Tawaran
Berkali-kali Paulus mengucap syukur bahwa dipilih dan dipercaya Tuhan untuk mewartakan Injil. Hal yang sama terjadi pada para rasul, seperti ditegaskan oleh Tuhan Yesus sendiri, “Bukan kamu yang memilih-Ku, melainkan Akulah yang memilih kamu” (Yoh 15:16a). Bagaimana dengan kita? Tugas menjadi katekis mengandaikan kita diberi karunia berkata-kata dengan pengetahuan (bdk. 1 Kor 12:8). Karunia ini dianugerahkan sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri (1 Kor 12:11) dengan maksud untuk kepentingan bersama (1 Kor 12:7) dan untuk membangun jemaat (1 Kor 14:12). Jadi, tidak ada alasan menjadi sombong atau memegahkan jasa pengabdian kita. Memang “Paulus yang menanam dan Apolos yang menyiram”, tetapi Allahlah yang memberikan pertumbuhan benih iman dalam diri seorang katekumen (bdk. 1 Kor 3:6). Rasa bangga akan jasa pengabdian masa lalu kerap membuat kita dihinggapi penyakit post power sindrom, yang kiranya bisa diobati dengan mencoba resep kerendahan hati yang diajarkan Kristus. Kita diajak berani berkata, “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna, kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan” (Luk 17:10).

Tugas mewartakan Injil berarti mewartakan Kristus, bukan mewartakan diri kita sendiri. Maka semangat kerendahan hati St. Yohanes Pemandi perlu kita resapkan, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil “ (Yoh 3:30). Kepada jemaat di Tesalonika Paulus menegaskan bahwa dia mewartakan Injil bukan untuk mencari pujian manusia ataupun dengan maksud loba tersembunyi, melainkan semata-mata ingin menyukakan hati Allah (1 Tes 2:4-6).

Paulus bisa menjadi pewarta Injil yang militan dan handal karena dia telah berjumpa dan mengalami Kristus yang bangkit. Demikian pula orang Gerasa yang kerasukan roh jahat, setelah disembuhkan oleh Yesus diutus mewartakan pengalaman imannya kepada orang-orang sekampungnya (Mrk 5:19). Begitu pula wanita Kanaan (Yoh 4:28-30). Tugas pewartaan ini mengandaikan adanya pengalaman kontak personal dengan Tuhan sendiri. Inilah yang mesti senantiasa kita pupuk dan kembangkan. Bagaimana kita bisa mewartakannya, kalau kita sendiri tidak duduk mendengarkan sabda-Nya? Kita mesti tinggal bersama Yesus dalam doa. Dalam doa kita bisa mempersembahkan suka-duka pewartaan kita. Hanya Tuhanlah yang sanggup membuka pintu hati sehingga orang bertobat dan percaya. Dan di luar Dia, kita tidak akan bisa berbuat apa-apa (Yoh 15:5).

Kita patut bersyukur mendapat kesempatan membimbing katekumen menjadi murid Kristus. Dalam hal ini kita perlu belajar dari St. Andreas yang termasuk di antara empat murid pertama Yesus. Bahkan dalam Injil Yohanes, Andreas digambarkan sebagai pribadi “pengantar”. Dialah yang mengantar Simon, kakaknya, kepada Yesus (Yoh 1:41-42). Dialah yang melaporkan anak yang membawa lima roti jelai dan dua ikan sehingga Yesus mengadakan mukjizat pergandaan (Yoh 6:8-9). Dan dia pula yang menyertai Filipus untuk melaporkan kepada Yesus bahwa ada orang Yunani mau menemui-Nya (Yoh 12:22). Kendati demikian, dalam aneka kesempatan istimewa, seperti Yesus membangkitkan anak Yairus, Yesus menyatakan kemuliaan-Nya di gunung tinggi, ataupun saat Yesus berdoa di Getsemani, Andreas tidak pernah diajak serta. Andreas adalah sosok pribadi yang rendah hati dan bersyukur bahwa boleh menjadi “pengantar” orang bertemu dan mengalami Kristus.

Sebagai katekis, kita akan dihadapkan pada aneka kesulitan dan derita. Bahkan barangkali juga tiada jaminan bahwa kita akan terbebas dari penyakit. Kalaupun kita mesti menanggung penderitaan karena Injil, baiklah kita mengingat Sabda Bahagia Tuhan Yesus (Mat 5:10-12) dan nasihat Paulus berikut ini, “Kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia” (Flp 1:29). Kepada Timotius dia juga menasihatkan agar tabah dalam menanggung penderitaan karena Injil (2 Tim 2:3.4.9).

Akhirnya, kita mesti menyadari bahwa kita bersama-sama ambil bagian dalam pewartaan Kerajaan Allah, bukan “kerajaan-ku”, maka semangat kerjasama, “pergi berdua-dua” , perlu dikembangkan. Maka gaya pewartaan single fighter, perlu diganti dengan sinergi aneka potensi. Pengurus mesti memberdayakan aneka potensi yang ada dan mensinergikannya. Yesus mengutus dan mendelegasikan tugas perutusan kepada para murid. Paulus pun menasihati Timotius untuk menunjuk pengajar-pengajar yang lain (lih. 1 Tim 2:2). Dalam hal ini ‘jabatan’ pengurus hendaknya pertama-tama dilihat sebagai tanggung jawab pelayanan dan pemberdayaan, bukan sekedar status, apalagi untuk menguasai (bdk. Mat 20:28).

Lantas, Apa Upahku?
Memang dalam pewartaan Injil, ada prinsip “Pekerja patut mendapatkan upah” (Mat 10:10; bdk. 1 Kor 9:10). Namun, Paulus sengaja memilih tidak menggunakan haknya. Dia bersyukur boleh mewartakan Injil tanpa upah (1 Kor 9:18). Dia bisa tetap hidup dari keringatnya sendiri karena bekerja sebagai pembuat tenda (Kis 18:3). Maka selain membagikan Injil, Paulus juga membagikan hidupnya sendiri (1 Tes 2:8). Hal yang sama terjadi di antara para katekis. Maka pertanyaannya, lantas apa upahku?

Kepada para murid yang kembali dari tugas perutusannya, Yesus berpesan, “Janganlah bersukacita karena roh-roh itu takhluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga” (Luk 10:20). Inilah yang membahagiakan. Daniel pun menuliskan penglihatannya, bahwa pada akhir zaman “Orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun kepada kebenaran seperti bintang-bintang, tetap untuk selama-lamanya” (Dan 12:3). Inilah janji Tuhan bagi semua yang ambil bagian dalam pewartaan Injil. Maka, kita boleh berseru bersama St. Paulus, “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Kor 9:16b).

Seminari Tinggi Beato Giovanni
Malang, 1 Sept 2012


Kepustakaan:
Congregation for the Clergy. General Directory for Catechesis. Kenya: Paulines Publications Africa, 1998.
Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa. Pedoman untuk Katekis (Terj. Komkat KWI) Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Marsunu, Y.M. Seto. Paulus: Spiritualitas Pelayan Sabda. Jakarta: LBI, 2011.
Sanjaya, V. Indra. Belajar dari Yesus “Sang Katekis”. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Telaumbana, Marinus. Ilmu Kateketik. Jakarta: Obor, 1999.

Disampaikan dalam Rekoleksi Katekis Se-KAJ, KomKat KAJ, di Wisma Cannosa, Bintaro Jakarta, 1-2 September 2012.

Seorang imam praja Keuskupan Malang, yang menaruh perhatian pada katekese parokial. Setelah menyelesaikan licensiat Kitab Suci di Institut Biblicum Roma (2010), kini mengajar Kitab Suci di STFT Widya Sasana Malang dan mengemban tugas sebagai Dirdios KKI dan Ketua Komisi Kerasulan KS Keuskupan Malang.

Kata katekis berasal dari kata dasar katechein yang berarti mengomunikasikan, membagikan informasi, atau mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan iman. Sedangkan katekese menurut Paus Yohanes Paulus II adalah “pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya disampaikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen” (Catechesi Tradendae no. 18).

Yohanes Paulus II, Amanat bagi Sidang Pleno CEF, 30 April 1992 atau 1 Mei 1992, no. 2, seperti dikutip dalam Pedoman untuk Katekis (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 23.

Ibid.

Ibid., hlm 24.

Maknanya kesaksian dua orang akan dapat dipercaya (lih. Ul 19:15), namun juga keduanya bisa bersinergi untuk saling melengkapi dan menguatkan.




diambil dari imankatolik.or.id

Tidak ada komentar: