EKSORSISME DALAM GEREJA
Sejak permulaan, Gereja selalu menyadari betapa pentingnya suatu perlindungan dari Allah, yaitu perlindungan dari segala gangguan dan serangan kuasa kegelapan, sehingga Paus Paulus VI dalam audiensi umum tanggal 15 Nopember 1972 pernah mengungkapkan:“Apakah yang menjadi kebutuhan terbesar Gereja dewasa ini? Janganlah terkejut mendengar jawaban kami dan jangan menganggapnya terlalu naif, atau bahkan berbau takhyul: ‘salah satu kebutuhan terbesar Gereja ialah perlindungan terhadap kejahatan yang disebut Iblis.’ Kejahatan bukanlah hanya kekurangan akan sesuatu hal (absentia boni), melainkan suatu kekuatan yang aktif, suatu makhluk yang hidup, yang bersifat rohani, yang sesat dan menyesatkan. Suatu realitas yang dahsyat, misterius dan mengerikan...”
Kebutuhan perlindungan terhadap segala kuasa kejahatan ini lebih-lebih menjadi suatu kebutuhan yang mendesak pada zaman ini. Tidak bisa dipungkiri, walaupun di tengah-tengah zaman yang dikatakan modern ini dan di tengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang luar biasa, manusia dewasa ini banyak yang tidak memahami tujuan hidupnya, sehingga walaupun dunia dengan pelbagai kesemarakannya menawarkan gaya hidup dengan isme-isme tertentu, seperti gaya hidup yang hedonisme, materialisme dan konsumerisme. Akan tetapi semua itu tidak dapat memuaskan hati manusia. Hati manusia diciptakan untuk Allah, seperti yang dikatakan St. Agustinus: “Engkau menciptakan kami untuk-Mu ya Tuhan, maka gelisahlah hati kami sebelum beristirahat di dalam Engkau.” Maka sesungguhnya dalam hati manusia yang terdalam ada suatu kerinduan yang mendasar, yaitu kerinduan akan Allah. Akan tetapi pada kenyataannya dalam pencariannya, manusia tidak selalu menemukan Allah, bahkan tidak jarang disesatkan dari tujuan hidupnya.
Di sinilah dapat dilihat peranan si jahat yang selalu berusaha menjauhkan manusia dari tujuan hidupnya, berusaha menjauhkan manusia dari Allah, bahkan bila mungkin ia akan berusaha sekuat tenaga agar manusia kehilangan keselamatan jiwanya. Satu realitas dalam kehidupan Kristiani yang akan selalu dijumpai ialah adanya pengaruh roh jahat, hal ini terdapat dalam Kitab Suci, ajaran Gereja, pengalaman para kudus dan orang Kristen sepanjang sejarah Gereja. Dan dari apa yang dinyatakan oleh Kitab Suci, jelaslah bahwa roh-roh jahat mempunyai pengaruh yang nyata dalam kehidupan manusia dan tempat-tempat tertentu. Semua pengaruh roh jahat bersifat negatif destruktif, karena tujuan roh jahat hanya satu, yaitu berusaha menghancurkan manusia seluruhnya, terutama menghancurkan keselamatan jiwanya.
Akan tetapi, satu hal yang harus disadari bahwa Tuhan Yesus Kristus melalui wafat dan kebangkitan-Nya telah menang atas kuasa dosa, maut dan kuasa kegelapan. Sehingga walaupun secara kodrat, roh jahat lebih kuat dari manusia, karena seperti yang dinyatakan bapa-bapa Gereja, bahwa roh jahat adalah para malaikat yang telah jatuh dan memberontak kepada Allah. Walaupun roh jahat lebih kuat, tetapi harus disadari bahwa ia tidak berdaya bila berhadapan dengan Allah, oleh karena itu asalkan bersama Yesus dan tetap bersatu dengan Kristus, maka roh jahat tidak dapat berbuat apa-apa dan dapat dipatahkan kuasanya. Atas kesadaran ini, maka di sepanjang sejarah Gereja dapat dijumpai adanya praktik-praktik doa untuk pengusiran setan, yang umumnya dikenal dengan istilah eksorsisme. Dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai sejarah praktik eksorsisme di sepanjang sejarah Gereja dengan segala perkembangannya hingga dewasa ini.
Pada permulaan pada zaman Gereja Awali setiap orang beriman, yaitu setiap orang kristen yang dipenuhi Roh Kudus dapat melakukan doa untuk mengusir setan. Seperti yang dapat dijumpai pada penutup Injil Markus, ketika Tuhan Yesus mengutus para murid-Nya: “Tanda-tanda ini akan menyertai orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi Nama-Ku...” (Mrk 16:17). Sudah menjadi kesadaran dalam Gereja sejak awal bahwa orang beriman diberi kuasa untuk melakukan doa pembebasan.
Demikian juga kalau dilihat dalam Kisah Para Rasul dapat dijumpai bahwa bagaimana orang-orang Kristen yang pertama juga melakukan doa-doa pembebasan itu. Seperti yang dilakukan Filipus di Samaria (Kis 8:5-8), dia mengusir banyak setan-setan. Filipus ini merupakan salah satu dari beberapa diakon yang telah dipilih. Hal-hal yang demikian dapat juga dilakukan oleh murid-murid yang lain, sehingga dapat disimpulkan pada awalnya semua orang Kristen yang percaya diberi kuasa oleh Tuhan dan doa pembebasan waktu itu tidak dibatasi.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, dalam waktu yang relatif singkat tercatat dalam sejarah Gereja, ada kelompok-kelompok tertentu yang ditugaskan melakukan doa ini, khususnya ketika Gereja mulai diakui dan tidak berada dalam situasi penganiayaan. Kelompok-kelompok itu disebut para eksorsis, yaitu orang-orang yang ditahbiskan secara khusus untuk melakukan pengusiran setan. Para eksorsis umumnya bukan imam, mereka dipilih dan dididik secara khusus. Pemilihan dan pendidikan khusus ini dilakukan, karena kemungkinan pada waktu itu, ada kemerosotan dan penyelewengan dalam kehidupan menggereja secara menyeluruh, tetapi juga dalam praktik-praktik doa pengusiran setan. Hal ini disebabkan, karena ada perbedaan jarak waktu yang terpisah cukup jauh dari zaman para rasul, sehingga terjadi penyelewengan-penyelewengan dari pengajaran para rasul atau ajaran para rasul ditangkap secara keliru. Lebih-lebih setelah masa pemerintahan kaisar Konstantinus, di mana kaisar Konstantinus menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Maka dengan menjadi Kristen, kalau sebelumnya selama kurang lebih tiga abad lamanya, sebelum masa pemerintahan kaisar Konstantinus, menjadi orang Kristen akan mempunyai banyak resiko dan dianggap sebagai suatu kejahatan, sehingga bisa ditangkap dan dihukum mati, tetapi kemudian pada saat itu setelah agama Kristen diterima, bahkan dijadikan agama negara, maka ada orang-orang yang mencari keuntungan-keuntungan sosial dengan menjadi Kristen, sehingga karena motivasi yang tidak murni, maka kualitas orang-orang Kristen juga menurun. Kemerosotan hidup menggereja ini terjadi secara menyeluruh, sehingga mempengaruhi pelayanan-pelayanan di dalam Gereja, termasuk di dalamnya praktik doa pengusiran setan. Pada waktu itu diperkirakan banyak terjadi penyalahgunaan dan penyelewengan-penyelewengan dalam praktik doa pengusiran setan, karena kemungkinan orang kurang mengerti atau kurang siap, dan sebagainya. Maka dibentuklah suatu kelompok yang dididik secara khusus dan untuk membedakan mereka dengan yang lain-lain, mereka diberi tahbisan sebagai eksorsis dan mereka itu pada umumnya bukan imam. Sehingga pada waktu itu ada kelompok tertentu yang dididik dan diberi wewenang secara khusus untuk berdoa pembebasan.
Dalam perjalanan waktu praktiknya berubah, di mana tahbisan eksorsis ini hanya diberikan kepada seorang imam. Dahulu sebelum menerima tahbisan imam, seorang calon imam umumnya menerima tahbisan-tahbisan yang bermacam-macam, yang disebut tahbisan kecil, misalnya tahbisan akolit, sekarang akolit ini sama dengan misdinar, tetapi dahulu harus melalui tahbisan akolit terlebih dahulu. Kemudian di antara tahbisan-tahbisan kecil itu, tahbisan eksorsis termasuk di dalamnya. Akhir-akhir ini tahbisan eksorsis dihapuskan.
Dewasa ini praktiknya memang berbeda, walaupun dari Takhta Suci ada instruksi, supaya di tiap-tiap keuskupan ditunjuk seorang eksorsis resmi, tetapi di Indonesia tidak ada eksorsis resmi. Kalau dahulu para eksorsis umumnya bukan imam, tetapi sekarang yang dapat melakukan eksorsisme resmi hanya seorang imam. Tetapi itu pun tidak setiap imam, hanya imam yang telah ditunjuk uskup dan berpengalaman dalam bidang ini.
Di kota Roma sendiri, ada seorang eksorsis resmi yang terkenal yaitu Don Amorf, yang juga menulis buku berjudul “Journal of An Exorcist”, buku ini melukiskan bagaimana pengalaman dia harus bergumul dalam mendoakan dan membebaskan orang, yang kadang-kadang memakan waktu yang cukup lama.
Demikian perkembangannya, tetapi dewasa ini praktiknya memang berubah, karena selama beberapa dekade terakhir, dalam Gereja berkembang paham rasionalisme yang berlebihan, sehingga eksistensi roh jahat kurang disadari bahkan diragukan. Tetapi tentunya hal ini merupakan ekses, karena dianggap tidak ada, maka ekses ini membuat roh jahat bekerja secara bebas dan merajalela. Dan ada juga ekses yang lain yang justru kebalikannya, bukannya tidak percaya adanya roh jahat, tetapi justru melebih-lebihkan keberadaan roh jahat, yaitu ekses “melihat setan di mana-mana”, tentunya ekses ini menunjukkan ketidakseimbangan. Oleh karena itu menghadapi realitas kehadiran roh jahat perlu sikap seimbang dan kebijaksanaan. Realitas roh jahat ini ada dan hanya dapat diatasi oleh kuasa Allah saja, tetapi dalam praktik pelayanan doa pembebasan diperlukan sikap yang seimbang dan discernment (pembedaan roh) yang sungguh-sungguh.
JENIS-JENIS DOA PEMBEBASAN
1. Eksorsisme Resmi
Untuk kasus-kasus berat dan hanya dapat dilakukan oleh seorang imam dengan izin uskup, dengan syarat:
seorang yang suci
bijaksana dan berpengalaman dalam eksorsisme
memiliki karisma untuk eksorsisme
dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus, karena lawan yang dihadapi berat
Dalam situasi dan disiplin Gereja sekarang ini, eksorsisme resmi ini hanya dapat dilakukan oleh seorang imam yang ditunjuk oleh uskup. Seorang eksorsisme resmi akan melakukan pengusiran setan sebagai petugas Gereja dan resmi atas nama Gereja, dan justru di situlah kekuatannya. Biasanya eksorsisme resmi ini diperlukan untuk menangani kasus-kasus yang berat. Eksorsisme resmi ini hanya dapat dilakukan oleh imam-imam tertentu yang ditunjuk uskup.
2. Eksorsisme Privat atau biasanya disebut “Doa Pembebasan”
Eksorsisme privat ini bukanlah sesuatu yang baru di dalam Gereja, bahkan sebelum konsili Vatikan II, hal ini sudah dikenal dalam buku-buku pegangan para imam, misalnya buku-buku tentang moral. Dalam buku-buku itu dibahas tentang eksorsisme resmi dan eksorsisme privat, misalnya: dalam buku-buku moral ada yang berisi nasihat-nasihat kepada para imam, khususnya kepada para imam yang mendengarkan pengakuan dosa, misalnya:
“Sangat disarankan agar para pelayan Gereja lebih sering mempraktikkan eksorsisme sederhana—sambil mengingat-ingat sabda Tuhan: ‘Dalam nama-Ku mereka akan mengusir setan’—dan eksorsisme ini bisa dilaksanakan tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan” (Noldin, Theologia Moralis, 111, t2, hlm. 492).
“Pengalaman mengajarkan bahwa dalam pengakuan kadang-kadang eksorsisme dapat dipakai secara rahasia, tanpa sepengetahuan si peniten, dan dengan hasil yang baik” (Prummer, Theologia Moralis, Vol. 2, hlm. 363).
“Hendaknya para imam meniru teladan tokoh suci, Pallota, yang melakukan eksorsisme pribadi bilamana si peniten tidak menyesal atas dosa-dosanya atau bilamana ia tidak mau mengungkapkan dosa-dosanya” (Marc, Institutiones Morales Alphonsiane, Vol. 1, hlm. 622, 1927).
“Dianjurkan agar para imam sering menggunakan eksorsisme pribadi, setidak-tidaknya secara rahasia, bagi mereka yang diganggu oleh cobaan atau oleh sikap terlalu hati-hati atas hal-hal kecil. Untuk itu, imam dapat memakai rumusan ini: ‘Dalam nama Yesus Kristus, hai roh yang nista, aku memerintahkanmu untuk keluar dari dalam diri makhluk ciptaan Allah ini’” (McHugh dan Callan, Moral Theology, Vol. 2, hlm. 365, 1958).
Para ahli teologi moral, mulai dari St. Alfonsus de Liquori, yang dinyatakan sebagai Pujangga Gereja pada tahun 1871 dan pada tahun 1959 ia dinyatakan sebagai santo pelindung bapa pengakuan dan para ahli teologi moral, mengatakan bahwa “Dalam tradisi Katolik setiap orang boleh melakukan eksorsisme secara pribadi, tetapi eksorsisme agung (resmi) hanya dapat dilakukan oleh imam dengan seizin uskup setempat.”
Para moralis mulai dari St. Alfonsus hingga yang disebutkan di atas, juga menganjurkan seandainya kalau dalam menerimakan pengakuan, imam tersebut merasa ada gangguan roh jahat dalam diri orang yang mengaku, supaya dalam pengakuan itu imam tersebut mendoakan pembebasan. Bisa dilakukan dalam sakramen pengakuan, setelah memberikan absolusi, dia dapat mendoakan pembebasan. Dan memang dengan kedudukannya sebagai imam, yang mempunyai tahbisan, hal ini tentunya lebih menguntungkan. Tetapi doa pembebasan juga dapat dilakukan oleh setiap orang yang percaya, melalui sakramen pembaptisan, setiap orang Kristen menerima imamat umum, sehingga dengan imamat umum itu juga dapat melayani.
Bahkan dahulu pada para konselor, yang umumnya ialah para imam, misalnya dalam sebuah buku yang dahulu terkenal sekali, khususnya sebelum Konsili Vatikan II, ada seorang pengarang rohani yang bernama “Tanquerey”, dia menulis tentang spiritualitas. Buku ini dahulu menjadi buku pegangan setiap imam, buku pegangan yang sangat mendetail dan rinci mengenai hidup rohani, bimbingan rohani, dan lain-lain (dalam terjemahan Inggrisnya berjudul “The Spiritual Life”). Dahulu para imam dan calon imam semua harus mempunyai buku itu dan dipelajari sungguh-sungguh, tetapi sekarang mungkin buku itu tidak dikenal lagi. Dalam buku itu juga disebutkan kepada para pembimbing rohani, bahwa bila perlu juga dapat mendoakan eksorsisme privat untuk anak bimbingannya.
Jadi eksorsisme privat (doa pembebasan) ini bukan penemuan dewasa ini, tetapi sejak dahulu sudah ada, tetapi seolah-olah untuk beberapa waktu lamanya dilupakan. Dan dengan munculnya pembaruan hidup dalam Roh (pembaruan karismatik), setan yang kelihatannya sembunyi-sembunyi, sehingga bahkan dianggap tidak ada. Tetapi sekarang oleh kuasa Roh Kudus seolah-olah dipaksa untuk muncul, untuk menyatakan dirinya, sehingga di sini ada konfrontasi dengan kuasa Roh Kudus. Roh Kudus yang dicurahkan secara istimewa pada zaman ini, seolah-olah memaksa setan untuk menunjukkan dirinya dan tampil ke depan, tidak lagi berkarya sembunyi-sembunyi, sehingga dengan demikian lebih mudah untuk diatasi oleh kuasa Roh Kudus sendiri.
Siapa yang dapat melakukan eksorsisme privat atau doa pembebasan ini?
Beberapa ahli teologi moral menyatakan:
“Orang-orang yang menderita karena serangan iblis, sebaiknya ia melakukan eksorsisme pribadi dan berkata, ’Hai, roh nista, dalam nama Yesus Kristus, aku memerintahkanmu untuk keluar dari dalam diriku dan jangan lagi menggangguku’” (St. Alfonsus, Praxis Confesarii, paragraf 113).
“Eksorsisme pribadi adalah sah bagi semua orang, terutama para imam, dan tidak diperlukan izin khusus dari uskup untuk hal itu” (Marc, Institutiones Morales Alphonsiane, Vol. 1, hlm. 622, 1927).
“Sama sekali tidak ada larangan bagi umat awam untuk melakukan eksorsisme pribadi” (Prummer, Theologia Moralis, Vol. 2, hlm. 363).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa:
Kebanyakan orang kristen dapat melayani dalam doa pembebasan untuk kasus-kasus ringan.
Orang-orang tertentu akan sering dimintai bantuannya untuk doa pembebasan, khususnya untuk kasus-kasus yang bukan posesi atau bukan pengaruh roh yang berat.
Kadang-kadang orang juga bisa memiliki intuisi untuk minta tolong seseorang yang belum pernah sama sekali mendoakan pembebasan.
Kebanyakan dari orang-orang yang telah dipersiapkan untuk hal itu akan dapat melayani doa-doa pembebasan.
Siapa-siapa yang tidak cocok untuk pelayanan ini, yaitu :
Orang yang terlalu sensitif dan juga terbuka untuk serangan si jahat.
Orang yang tidak tahu membedakan antara kebutuhan untuk doa pembebasan dan penyembuhan batin (tidak melakukan discernment lebih dahulu, tetapi asal main hantam mengusir setan dan cenderung melihat setan di mana-mana).
Orang yang senang memakai kuasa dan yang semangatnya untuk memerangi setan diungkapkan dalam kemarahan terhadap si korban (harus disadari orang yang didoakan/si korban justru perlu ditolong dan dilepaskan dari ikatan si jahat).
Orang yang kurang pengalaman dan pengetahuan. Sebaiknya orang-orang semacam ini belajar dan ikut bersama dengan orang yang sudah lebih berpengalaman dan punya nama baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar