Tim Kerja Komunikasi Sosial
Dewan Paroki Gereja Santo Paulus Sendangguwo Semarang
jalan Dr.Muwardi 7, Sendangguwo
Semarang - Indonesia
telp. +62 024 - 6711509
Kamis, 29 Januari 2009
Selasa, 27 Januari 2009
Adakah Tempat Bagi-Nya di Hatimu pada Hari Natal
Label:
renungan
“Ketika mereka di situ, tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” (Luk 2:6-7)
Natal di kandang
Bau kandang. Itulah yang menjadi kesan pertama saya, ketika menghadiri tunil Natal yang diadakan oleh para suster Fransiskan di Alabama - USA, pada tahun 2006. Ya, mereka mengadakan tunil tersebut di sebuah gudang, yang telah ‘disulap’ menjadi kandang. Betul-betul kandang: dengan binatang-binatang, seperti kuda, sapi, kerbau dan domba, dan dengan aroma yang ‘alamak’ tak terlupakan. Herannya, semua binatang tersebut tidak berisik, seolah mereka tahu bahwa malam itu ada pertunjukan yang sangat khusuk. Para penonton yang jumlahnya sekitar 30 orang datang dan duduk di bangku panjang tanpa sandaran yang telah ditutupi jerami, demikian pula dengan seluruh permukaan lantai. Mereka semua duduk tanpa ribut-ribut. Hanya mungkin sebagian anak-anak yang dengan penuh rasa ingin tahu menghampiri pagar ternak yang letaknya cukup berdekatan dengan tempat duduk mereka, dan hewan-hewan itupun sedikit melenguh sesekali. Selebihnya, hanya keheningan.
Pertunjukan Natal berlangsung sangat indah. Para suster menyanyi dengan sangat merdu, demikian dengan cara penuturan kisah Natal. Tapi bukan hal itu yang paling menarik perhatian saya. Sebab, saya terhenyak oleh kenyataan ini: Ya, di tempat seperti inilah Tuhan Yesus lahir 2000 tahun yang lalu. Ia yang adalah empunya Kerajaan Surga dan seluruh semesta alam, merendahkan diri, untuk mengambil rupa seorang hamba. Karena kasih-Nya kepada anda dan saya, Yesus melepaskan segala sesuatu, bahkan kemuliaan-Nya sebagai Allah, untuk menjelma menjadi manusia, seorang bayi tak berdaya, dan lahir di tempat yang paling hina: sebuah kandang hewan!
Kesederhanaan dan kemiskinan yang dipilih Allah
Natal memang merupakan gambaran nyata tentang bagaimana Allah memilih kemiskinan dan kesederhanaan untuk menyapa manusia yang dikasihi-Nya. Dari kandang Natal, kita melihat bagaimana Kristus sendiri memenuhi ajaran pertama yang diajarkan-Nya pada khotbah di bukit, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5:3). Pertanyaannya, adalah apakah arti ‘miskin di hadapan Allah’ ini? Banyak orang menghubungkannya dengan ketidak-terikatan kita dengan harta duniawi, kemewahan dan kekayaan. Maka tak jarang orang berpendapat, ini hanya mampu dilakukan oleh para biarawan biarawati. Padahal tidak demikian halnya, sebab dalam kondisi kita masing-masing kita dapat menerapkan ‘ketidak-terikatan’ kepada kekayaan. Suatu permenungan adalah, misalnya, jika kita dihadapkan pilihan untuk menggunakan uang kita yang terbatas, maka apakah kita memilih untuk kenyamanan kita, ataukah untuk menolong orang lain yang lebih membutuhkan? Jika kita bisa membeli barang yang mahal, apakah kita serta-merta membelinya, atau kita berpikir untuk membeli barang yang lebih murah dan sederhana, dan menggunakan sisa uangnya untuk menyumbang aksi sosial gereja, misalnya? Apakah kita bijaksana menggunakan kekayaan kita untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak begitu perlu, namun hanya untuk koleksi saja, atau demi mengikuti ‘mode’? Mampukah kita bersuka cita selalu, meskipun dalam keadaan kekurangan? Ini adalah suatu renungan kita semua, sebab jika kita sangat terikat pada harta milik kita, maka sesungguhnya di hati kita tidak ada ruang buat Tuhan.
Namun sebenarnya, ‘miskin’ di hadapan Allah juga berarti bahwa kita mengakui bahwa Allah-lah yang memberikan segala sesuatu kepada kita. Jadi, segala sesuatu yang kita pikir kita miliki, sesungguhnya dari Allah, dan sudah selayaknya kita pergunakan untuk memuliakan Dia. Kesehatan, pekerjaan, bakat dan kepandaian, harta milik, keluarga, dan seterusnya semestinya kita arahkan untuk memuji Tuhan, sebab semuanya itu adalah pemberian Tuhan. Mari kita bertanya pada diri kita sendiri: Siapkah kita jika suatu saat, Tuhan mengizinkan sesuatu terjadi sehingga kita tidak lagi memiliki semua itu? Masih dapatkah kita bersyukur kepada-Nya? Sebab, justru pada saat kita kehilangan ‘milik’ kita, kita akan dibawa pada suatu kesadaran bahwa yang terpenting bagi kita adalah Tuhan sendiri. Karena Tuhan-lah yang menjadi sebab mengapa kita hidup, dan Dia-lah juga yang menjadi tujuan akhir hidup kita. Ia melimpahi kita dengan rahmat, agar kita dapat menggunakan hidup ini untuk memberitakan kasih dan kebaikan-Nya agar semakin banyak orang mengenal dan mengasihi-Nya. Ia menciptakan kita untuk tujuan yang mulia, untuk mengangkat kita menjadi milik-Nya dan bersatu dengan-Nya dalam Kerajaan Surga. Inilah yang menjadi alasan mengapa Allah mengirimkan Yesus Putera-Nya yang kita peringati pada hari Natal. Di dalam Yesus, Allah merendahkan diri, agar kita semua ditinggikan. Dengan kerendahan hati-Nya, Allah menunjukkan pada kita betapa Ia mengasihi kita semua, agar kitapun dapat belajar untuk mengasihi-Nya dan mengasihi sesama kita.
Dengan melihat ke kandang Natal, kita sungguh dapat melihat betapa dengan kerendahan hati-Nya, Yesus menghancurkan dosa pertama Adam, yaitu kesombongan. Dan sesungguhnya, Ia-pun mengundang kita untuk meninggalkan kesombongan kita. Mari kita tengok ke dalam hati kita masing-masing: apakah masih ada kesombongan di sana? Misalnya, menganggap berkat yang ada pada kita sebagai hasil karya sendiri? Atau menganggap diri paling baik, dan paling benar? Atau berkeras dengan pandangan sendiri, dan paling cepat menghakimi orang lain? Atau menganggap diri lebih mengetahui segala sesuatu daripada Tuhan? Bahkan menciptakan sendiri gambaran tentang Allah? Juga, marilah dengan jujur kita melihat, apakah kita memiliki kasih akan Tuhan yang melebihi dari semuanya? Mari, pada hari Natal ini, kita memandang ke palungan di mana Yesus dibaringkan, dan merenungkan misteri kasih Allah ini: Tuhan meninggalkan segala sesuatu untuk datang kepada anda dan saya. Apakah anda dan saya juga rela meninggalkan segala sesuatu yang mengikat kita untuk datang kepada-Nya?
Mari melihat teladan Bunda Maria dan Santo Yosef
Teladan kesederhanaan itu sesungguhnya kita lihat begitu nyata pada Bunda Maria dan Santo Yosef. Saya membayangkan seandainya saya mengikuti perjalanan Bunda Maria dan Santo Yosef dari Nazareth ke Bethlehem, ikut berjalan di belakang keledai mereka. Saya membayangkan, pasti mereka sungguh sangat lelah. Hari sudah malam, namun dari penginapan satu ke penginapan yang lain, tidak ada yang bersedia menerima mereka. Alangkah tragisnya, bahwa kelahiran Tuhan semesta alam ditolak oleh umat ciptaan-Nya, sampai Ia harus lahir di kandang yang bau. Namun, kelihatannya hal itu tidak mengambil suka cita Bunda Maria, Yosef, dan para gembala. Oleh kabar malaikat, para gembalapun datang menghampiri dan menyembah bayi Yesus yang dibaringkan di dalam palungan. Nampaknya memang Allah memilih orang-orang yang sederhana dan miskin untuk menerima kabar sukacita ini: “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus…”(Luk 2:11). Mereka yang miskin hatinya di hadapan Allah itulah yang dapat melihat kemuliaan Allah di dalam kesederhanaan. Dan bagi mereka yang membuka hatinya, mereka dapat menerima misteri Allah yang menjelma menjadi manusia. Kelahiran seorang bayi mungil di dalam kandang disertai oleh penampakan sejumlah besar bala tentara surga yang memuliakan Allah dengan kidung pujian, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk 2:14). O, betapa kemiskinan manusia telah dipakai Tuhan untuk menyatakan kemuliaan-Nya dan sukacita yang besar!
Dalam kesederhanaan, Bunda Maria memandang Yesus Puteranya yang terbaring di palungan. Mungkin ia melihat wajah bayi yang tak berdaya itu dengan kasih sayang dan hormat. Ada perasaan yang tak terlukiskan di sana. Sang bayi itu adalah anak yang lahir dari rahimnya, namun bayi itu juga adalah Tuhan yang menyelamatkannya. Mungkin ia mengingat kembali perkataan malaikat Gabriel, bahwa bayinya yang dilahirkan di tempat yang miskin ini akan menjadi raja, dan Kerajaan-Nya tidak berkesudahan… Mungkin ia mencium kaki dan wajah bayi itu, dan merenungkan betapa ia telah mencium kaki dan wajah Tuhan… Ya, dalam keheningan malam itu, “Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkan-Nya” (Luk 2:19)…. akan segala perbuatan Tuhan yang dinyatakan kepadanya, dan yang akan dinyatakan kepadanya di masa yang akan datang….
Mari seperti Bunda Maria kita merenung sejenak di masa Natal ini. Bahwa Allah hadir di dalam kesederhanaan dan kemiskinan. Cukuplah sudah karunia Allah bagi kita, sebab justru di dalam kelemahanlah kuasa Tuhan menjadi sempurna (2 Kor 12:9). Maka, seperti Bunda Maria, mari kita bersuka cita di dalam kelemahan kita dan dengan sikap demikian kita dapat sungguh-sungguh berbahagia (lih. Luk 1:47-48).
Mary, did you know?
Kesyahduan Natal membawa ingatan saya kembali ke tunil Natal di kandang Alabama. Mata saya terpejam saat merenungkan lagu, “Tahukah engkau, Maria?” Lirik lagu ini sangat menyentuh hati saya, karena menggambarkan betapa dalamnya misteri kasih Allah untuk menyelamatkan manusia yang secara nyata dimulai dari penjelmaan-Nya menjadi manusia di kandang Natal. Bunda Maria memberikan dirinya bagi pelaksanaan mukjizat ini: yaitu melalui kesediaannya, Allah menjelma menjadi manusia. Allah melaksanakan rencana keselamatan-Nya dengan melibatkan ketaatan Maria untuk mengikuti kehendak-Nya. “Maria, tahukah engkau, bahwa anak yang ada di dalam pelukanmu, adalah Tuhan yang Maha Besar?”, demikianlah akhir dari lagu itu…
Mari kita mohon kepada Tuhan, agar kita dapat memiliki sikap hati seperti Maria: sederhana serta memiliki hati terbuka dan taat untuk menerima rencana Tuhan. Semoga kita dapat belajar semakin merendahkan hati di hadapan Tuhan, agar kita dapat melihat dengan mata iman, bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita, betapapun sederhananya, merupakan anugerah istimewa dari Tuhan: suatu kesempatan bagi kita untuk turut mengambil bagian di dalam rencana keselamatan Allah. “Selamat Ulang Tahun ya Yesus. Terima kasih atas kasih-Mu yang besar, sehingga Engkau mau lahir di dunia ini. Mari, tinggallah di hatiku, dan perbaharuilah aku di dalam iman, pengharapan dan kasih….”
sumber : www.katolisitas.org
Natal di kandang
Bau kandang. Itulah yang menjadi kesan pertama saya, ketika menghadiri tunil Natal yang diadakan oleh para suster Fransiskan di Alabama - USA, pada tahun 2006. Ya, mereka mengadakan tunil tersebut di sebuah gudang, yang telah ‘disulap’ menjadi kandang. Betul-betul kandang: dengan binatang-binatang, seperti kuda, sapi, kerbau dan domba, dan dengan aroma yang ‘alamak’ tak terlupakan. Herannya, semua binatang tersebut tidak berisik, seolah mereka tahu bahwa malam itu ada pertunjukan yang sangat khusuk. Para penonton yang jumlahnya sekitar 30 orang datang dan duduk di bangku panjang tanpa sandaran yang telah ditutupi jerami, demikian pula dengan seluruh permukaan lantai. Mereka semua duduk tanpa ribut-ribut. Hanya mungkin sebagian anak-anak yang dengan penuh rasa ingin tahu menghampiri pagar ternak yang letaknya cukup berdekatan dengan tempat duduk mereka, dan hewan-hewan itupun sedikit melenguh sesekali. Selebihnya, hanya keheningan.
Pertunjukan Natal berlangsung sangat indah. Para suster menyanyi dengan sangat merdu, demikian dengan cara penuturan kisah Natal. Tapi bukan hal itu yang paling menarik perhatian saya. Sebab, saya terhenyak oleh kenyataan ini: Ya, di tempat seperti inilah Tuhan Yesus lahir 2000 tahun yang lalu. Ia yang adalah empunya Kerajaan Surga dan seluruh semesta alam, merendahkan diri, untuk mengambil rupa seorang hamba. Karena kasih-Nya kepada anda dan saya, Yesus melepaskan segala sesuatu, bahkan kemuliaan-Nya sebagai Allah, untuk menjelma menjadi manusia, seorang bayi tak berdaya, dan lahir di tempat yang paling hina: sebuah kandang hewan!
Kesederhanaan dan kemiskinan yang dipilih Allah
Natal memang merupakan gambaran nyata tentang bagaimana Allah memilih kemiskinan dan kesederhanaan untuk menyapa manusia yang dikasihi-Nya. Dari kandang Natal, kita melihat bagaimana Kristus sendiri memenuhi ajaran pertama yang diajarkan-Nya pada khotbah di bukit, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5:3). Pertanyaannya, adalah apakah arti ‘miskin di hadapan Allah’ ini? Banyak orang menghubungkannya dengan ketidak-terikatan kita dengan harta duniawi, kemewahan dan kekayaan. Maka tak jarang orang berpendapat, ini hanya mampu dilakukan oleh para biarawan biarawati. Padahal tidak demikian halnya, sebab dalam kondisi kita masing-masing kita dapat menerapkan ‘ketidak-terikatan’ kepada kekayaan. Suatu permenungan adalah, misalnya, jika kita dihadapkan pilihan untuk menggunakan uang kita yang terbatas, maka apakah kita memilih untuk kenyamanan kita, ataukah untuk menolong orang lain yang lebih membutuhkan? Jika kita bisa membeli barang yang mahal, apakah kita serta-merta membelinya, atau kita berpikir untuk membeli barang yang lebih murah dan sederhana, dan menggunakan sisa uangnya untuk menyumbang aksi sosial gereja, misalnya? Apakah kita bijaksana menggunakan kekayaan kita untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak begitu perlu, namun hanya untuk koleksi saja, atau demi mengikuti ‘mode’? Mampukah kita bersuka cita selalu, meskipun dalam keadaan kekurangan? Ini adalah suatu renungan kita semua, sebab jika kita sangat terikat pada harta milik kita, maka sesungguhnya di hati kita tidak ada ruang buat Tuhan.
Namun sebenarnya, ‘miskin’ di hadapan Allah juga berarti bahwa kita mengakui bahwa Allah-lah yang memberikan segala sesuatu kepada kita. Jadi, segala sesuatu yang kita pikir kita miliki, sesungguhnya dari Allah, dan sudah selayaknya kita pergunakan untuk memuliakan Dia. Kesehatan, pekerjaan, bakat dan kepandaian, harta milik, keluarga, dan seterusnya semestinya kita arahkan untuk memuji Tuhan, sebab semuanya itu adalah pemberian Tuhan. Mari kita bertanya pada diri kita sendiri: Siapkah kita jika suatu saat, Tuhan mengizinkan sesuatu terjadi sehingga kita tidak lagi memiliki semua itu? Masih dapatkah kita bersyukur kepada-Nya? Sebab, justru pada saat kita kehilangan ‘milik’ kita, kita akan dibawa pada suatu kesadaran bahwa yang terpenting bagi kita adalah Tuhan sendiri. Karena Tuhan-lah yang menjadi sebab mengapa kita hidup, dan Dia-lah juga yang menjadi tujuan akhir hidup kita. Ia melimpahi kita dengan rahmat, agar kita dapat menggunakan hidup ini untuk memberitakan kasih dan kebaikan-Nya agar semakin banyak orang mengenal dan mengasihi-Nya. Ia menciptakan kita untuk tujuan yang mulia, untuk mengangkat kita menjadi milik-Nya dan bersatu dengan-Nya dalam Kerajaan Surga. Inilah yang menjadi alasan mengapa Allah mengirimkan Yesus Putera-Nya yang kita peringati pada hari Natal. Di dalam Yesus, Allah merendahkan diri, agar kita semua ditinggikan. Dengan kerendahan hati-Nya, Allah menunjukkan pada kita betapa Ia mengasihi kita semua, agar kitapun dapat belajar untuk mengasihi-Nya dan mengasihi sesama kita.
Dengan melihat ke kandang Natal, kita sungguh dapat melihat betapa dengan kerendahan hati-Nya, Yesus menghancurkan dosa pertama Adam, yaitu kesombongan. Dan sesungguhnya, Ia-pun mengundang kita untuk meninggalkan kesombongan kita. Mari kita tengok ke dalam hati kita masing-masing: apakah masih ada kesombongan di sana? Misalnya, menganggap berkat yang ada pada kita sebagai hasil karya sendiri? Atau menganggap diri paling baik, dan paling benar? Atau berkeras dengan pandangan sendiri, dan paling cepat menghakimi orang lain? Atau menganggap diri lebih mengetahui segala sesuatu daripada Tuhan? Bahkan menciptakan sendiri gambaran tentang Allah? Juga, marilah dengan jujur kita melihat, apakah kita memiliki kasih akan Tuhan yang melebihi dari semuanya? Mari, pada hari Natal ini, kita memandang ke palungan di mana Yesus dibaringkan, dan merenungkan misteri kasih Allah ini: Tuhan meninggalkan segala sesuatu untuk datang kepada anda dan saya. Apakah anda dan saya juga rela meninggalkan segala sesuatu yang mengikat kita untuk datang kepada-Nya?
Mari melihat teladan Bunda Maria dan Santo Yosef
Teladan kesederhanaan itu sesungguhnya kita lihat begitu nyata pada Bunda Maria dan Santo Yosef. Saya membayangkan seandainya saya mengikuti perjalanan Bunda Maria dan Santo Yosef dari Nazareth ke Bethlehem, ikut berjalan di belakang keledai mereka. Saya membayangkan, pasti mereka sungguh sangat lelah. Hari sudah malam, namun dari penginapan satu ke penginapan yang lain, tidak ada yang bersedia menerima mereka. Alangkah tragisnya, bahwa kelahiran Tuhan semesta alam ditolak oleh umat ciptaan-Nya, sampai Ia harus lahir di kandang yang bau. Namun, kelihatannya hal itu tidak mengambil suka cita Bunda Maria, Yosef, dan para gembala. Oleh kabar malaikat, para gembalapun datang menghampiri dan menyembah bayi Yesus yang dibaringkan di dalam palungan. Nampaknya memang Allah memilih orang-orang yang sederhana dan miskin untuk menerima kabar sukacita ini: “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus…”(Luk 2:11). Mereka yang miskin hatinya di hadapan Allah itulah yang dapat melihat kemuliaan Allah di dalam kesederhanaan. Dan bagi mereka yang membuka hatinya, mereka dapat menerima misteri Allah yang menjelma menjadi manusia. Kelahiran seorang bayi mungil di dalam kandang disertai oleh penampakan sejumlah besar bala tentara surga yang memuliakan Allah dengan kidung pujian, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk 2:14). O, betapa kemiskinan manusia telah dipakai Tuhan untuk menyatakan kemuliaan-Nya dan sukacita yang besar!
Dalam kesederhanaan, Bunda Maria memandang Yesus Puteranya yang terbaring di palungan. Mungkin ia melihat wajah bayi yang tak berdaya itu dengan kasih sayang dan hormat. Ada perasaan yang tak terlukiskan di sana. Sang bayi itu adalah anak yang lahir dari rahimnya, namun bayi itu juga adalah Tuhan yang menyelamatkannya. Mungkin ia mengingat kembali perkataan malaikat Gabriel, bahwa bayinya yang dilahirkan di tempat yang miskin ini akan menjadi raja, dan Kerajaan-Nya tidak berkesudahan… Mungkin ia mencium kaki dan wajah bayi itu, dan merenungkan betapa ia telah mencium kaki dan wajah Tuhan… Ya, dalam keheningan malam itu, “Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkan-Nya” (Luk 2:19)…. akan segala perbuatan Tuhan yang dinyatakan kepadanya, dan yang akan dinyatakan kepadanya di masa yang akan datang….
Mari seperti Bunda Maria kita merenung sejenak di masa Natal ini. Bahwa Allah hadir di dalam kesederhanaan dan kemiskinan. Cukuplah sudah karunia Allah bagi kita, sebab justru di dalam kelemahanlah kuasa Tuhan menjadi sempurna (2 Kor 12:9). Maka, seperti Bunda Maria, mari kita bersuka cita di dalam kelemahan kita dan dengan sikap demikian kita dapat sungguh-sungguh berbahagia (lih. Luk 1:47-48).
Mary, did you know?
Kesyahduan Natal membawa ingatan saya kembali ke tunil Natal di kandang Alabama. Mata saya terpejam saat merenungkan lagu, “Tahukah engkau, Maria?” Lirik lagu ini sangat menyentuh hati saya, karena menggambarkan betapa dalamnya misteri kasih Allah untuk menyelamatkan manusia yang secara nyata dimulai dari penjelmaan-Nya menjadi manusia di kandang Natal. Bunda Maria memberikan dirinya bagi pelaksanaan mukjizat ini: yaitu melalui kesediaannya, Allah menjelma menjadi manusia. Allah melaksanakan rencana keselamatan-Nya dengan melibatkan ketaatan Maria untuk mengikuti kehendak-Nya. “Maria, tahukah engkau, bahwa anak yang ada di dalam pelukanmu, adalah Tuhan yang Maha Besar?”, demikianlah akhir dari lagu itu…
Mari kita mohon kepada Tuhan, agar kita dapat memiliki sikap hati seperti Maria: sederhana serta memiliki hati terbuka dan taat untuk menerima rencana Tuhan. Semoga kita dapat belajar semakin merendahkan hati di hadapan Tuhan, agar kita dapat melihat dengan mata iman, bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita, betapapun sederhananya, merupakan anugerah istimewa dari Tuhan: suatu kesempatan bagi kita untuk turut mengambil bagian di dalam rencana keselamatan Allah. “Selamat Ulang Tahun ya Yesus. Terima kasih atas kasih-Mu yang besar, sehingga Engkau mau lahir di dunia ini. Mari, tinggallah di hatiku, dan perbaharuilah aku di dalam iman, pengharapan dan kasih….”
sumber : www.katolisitas.org
Rabu, 21 Januari 2009
TANGGAPAN TENTANG TANAH
Label:
info
Terimakasih atas pertanyaan anda. Pertanyaan anda menjadi tanda betapa anda punya kepedulian yang besar kepada paroki St. Paulus Sendanggua. Mengenai perkembangan pembelian tanah Gereja bisa saya sampaikan sebagai berikut. Tanah yang seluas 1500 m2 itu dijual dengan harga 900 juta rupiah. Karna si penjual menghendaki pembayaran segera dilunasi maka Gereja memutuskan untuk meminjam uang ke Keuskupan. Pinjaman yang kita ajukan ke keuskupan adalah 700 juta. Kita sendiri punya uang dan Aset Tanah yang kalau dijual dan diakumulasikan bisa mencapai 300 juta. Maka kewajiban kita adalah mengembalikan pinjaman keuskupan. Untuk mengembalikan pinjaman ini kita meminta bantuan dari umat. Bantuan umat yang sudah terkumpul antara Juli 2007 sampai dengan September 2008 adalah 500 juta lebih. Karna sudah diatas 500 juta dan Puji Tuhan Kolekte misa juga terus meningkat sehingga bisa dipakai untuk melengkapi kekuarangan yang ada, maka kami pengurus Dewan Harian memutuskan untuk mengehentikan sumbangan umat untuk membeli tanah tersebut. Sungguhpun demikian permintaan bantuan dari umat masih sangat diperlukan, karna thn 2009 ini kita juga punya rencana akan membangun gedung pasturan baru. Maka sumbangan umat mulai September 2008 dialihkan ke rencana pembiayaan pembangunan pasturan baru. Hal ini sudah kami umumkan dalam misa hari minggu beberapa bulan yang lalu. Semoga informasi ini menjawab pertanyaan anda. Terima kasih Tuhan memberkati.
Romo Agus
Romo Agus
Langganan:
Postingan (Atom)